Rabu, 01 Februari 2012

Maulid Nabi

DEWAN MADRASIYAH
PONDOK PESANTREN MAMBAUL ULUM BATA-BATA
( DAMAS MUBA )

MENGUCAPKAN : 

SELAMAT MEMPERINGATI HARI LAHIR NABI MUHAMMAD SAW.
SEMOGA KITA SEMUA TERMASUK UMMATNYA YANG AKAN BERSAMANYA KELAK DI SURGA ALLAH
&
SELAMAT HARI LIBUR KEPADA SANTRI DAN SEMUA DEWAN ASATIDZ
PONDOK PESANTREN MAMBAUL ULUM BATA-BATA












Rabu, 13 April 2011

DEWAN MADRASIYAH
MAMBAUL ULUM BATA-BATA
MENGUCAPKAN
"SELAMAT & SUKSES"
ATAS DI RESMIKANNYA DAN DI LANTIKNYA PRAMUKA 
MA MAMBAUL ULUM BATA-BATA
SEMOGA BAROKAH DAN MANFAAT BAGI SEMUANYA..AMIN..

Rabu, 12 Januari 2011

GURU SEBAGAI PELAKU TRANSFORMASI SOSIAL

A. Peran Guru Dalam Politik Pendidikan
Jika kita bertanya apakah peranan guru dalam politik pendidikan, kita mesti jelas dulu apa yang dimaksud dengan peranan guru dalam konteks konstelasi politik di Indonesia. Yang saya maksud dalam hal ini adalah peranan guru dalam proses pendidikan, atau dengan kata lain, bagaimana guru berperan serta dalam mendisain dan terlibat dalam politik pendidikan di Indonesia. Jadi, peranan guru di sini sudah dibatasi bukan pada peranan politik dalam arti luas, seperti menjadi caleg, politisi, dll, melainkan menunjuk pada peranan yang khas guru dalam kerangka politik pendidikan.
Peranan politik guru dalam konteks ini bisa dipahami sebagai praksis kekuasaan politik yang dimiliki oleh guru yang dilatihkan secara bersama-sama sebagai salah satu cara kekuatan tawar menawar dalam proses pendidikan, yaitu, penentuan dan pembuatan kebijakan politik pendidikan, realisasi visi bersama bernegara dalam kerangka pendidikan, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” sehingga masyarakat dapat mengenyam keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran.
Praktis kekuasaan politik pendidikan yang dimiliki guru tidaklah vakum dari konteks, sebab praksis ini akan sangat bergantung dari konteks politik secara keseluruhan. Konstelasi politik, aspirasi dan cita-cita sosial dapat memengaruhi inspirasi dan cita-cita guru dalam menghayati kinerjanya sebagai pendidik. Sebagai contoh, para pahlawan nasional dan pendiri bangsa yang menghendaki bangsa ini merdeka, mereka adalah guru-guru yang memiliki inspirasi dan visi pembebasan. R.A. Kartini, misalnya, merindukan dan memiliki pandangan jauh ke depan agar bangsa Indonesia, khususnya kaum perempuannya mampu mengenyam kemerdekaan sehingga bebas dari belenggu kultural yang selama ini mengikatnya, agar menjadi orang yang bebas, yang mampu menentukan dirinya sendiri dan dengan demikian mengukuhkan martabat dirinya sebagai perempuan. Soekarno memiliki visi jangka jauh agar bangsa ini menjadi bangsa yang mampu berdiri sendiri, mandiri dan dengan demikian menjadi penentu bagi perjalanan sejarahnya sendiri.
Dalam perjalanan sejarah, jika secara sekilas kita perhatikan, inspirasi
para guru bangsa yang terjadi pada periode sebelum kemerdekaan sangat kental didominasi oleh inspirasi pembebasan yang berujung pada pembaharuan tatanan sosial dalam masyarakat. Katakanlah, guru waktu itu memiliki visi transformasi sosial, yaitu, pembebasan dari belenggu penjajahan agar bangsa Indonesia mampu menentukan dan membentuk sejarahnya sendiri. Karena itu, para guru bangsa ini rela berjuang mati-matian untuk mewujudnyatakan idealisme ini.
Namun pada periode setelah kemerdekaan, ketika kita sibuk berusaha untuk mengisi makna kemerdekaan ini, ironisnya, para guru justru tercabut dari spirit pembebasannya ini. Menguatnya peran Negara (etatisme) dalam berbagai proses kehidupan bermasyarakat pada masa Orde Baru, semakin membuat guru kehilangan inspirasi pembebasan ini. Pada masa Reformasi, keadaan sesungguhnya tidak banyak berubah. Guru seperti memperoleh ruang gerak untuk mengekspresikan dirinya melalu berbagai macam demo dan mogok, namun semua itu seperti terbentur tembok dan bahkan malahan kontraproduktif. Guru malah dicaci sebagai sosok yang telah mengingkari dan mengkhianati cita-citanya sendiri karena mereka lari dari tanggungjawab mereka mendidik para siswa, dan malahan secara tanpa malu-malu dan terbuka melakukan mogok dan demo untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, seperti, kesejahteraan, naiknya tunjangan-tunjangan, konflik dengan kepala sekolah, dll, sementara mengabaikan dan melalaikan anak didik mereka yang butuh pendidikan. Selain itu, berbagai macam organisasi guru tampaknya juga tidak memiliki taring berhadapan dengan etatisme ini, bahkan organisasi profesi guru ini alih-alih menjadi pembela, malahan menjadi perpanjangan tangan Negara dalam menindas guru.
Berbagai macam gerakan demonstrasi dan mogok yang dilakukan guru, yang secara sekilas bisa dipahami sebagai sebuah alat perjuangan politik, di mana guru melatihkan praksis kekuasaan politis yang dimilikinya demi tujuan tertentu, sesungguhnya merupakan sebuah pemahaman salah kaprah atas pemaknaan kinerja guru sebagai pelaku perubahan. Guru sebagai pelaku perubahan tidak dapat mengandalkan ekspresi kekuatan politiknya melalui tata cara demonstrasi dan mogok. Perjuangan dengan kekuatan fisik ini tentu saja jika terjadi dalam lingkup yang masif bisa menjadi daya tawar politik, namun jika tidak, tindakan ini akan kontraproduktif bagi kinerja guru sendiri.
Sudah lelah demo, capek, bahkan bisa jadi menjadi korban kekacauan atau kerusuhan, dan ternyata juga tidak terjadi perubahan apa-apa yang berarti. Tampaknya yang terakhir ini yang sering terjadi. Setelah demo berakhir keadaan berlangsung seperti semula dan tidak ada perubahan berarti.
Etatisme yang kuat, menggerus inspirasi guru sebagai pelaku politik dan
aktor perubahan karena daya-daya tranformatif yang dimiliki oleh guru
dimandulkan melalui berbagai macam kebijakan pendidikan. Sampai sekarang, tampaknya, peranan guru sebagai pelaku perubahan yang memiliki kemampuan untuk menentukan kualitas kinerjanya sendiri, belum juga bertumbuh secara maksimal. Guru masih sekedar berfungsi sebagai tukang yang mesti melaksanakan kebijakan Negara. Era standardisasi semakin semakin menggerus inspirasi pribadi guru sebagai individu yang berhak mengembangan visi dan inspirasinya dalam kerangka pendidikan.
B. Guru Bagian Dari Masalah
Berhadapan dengan kekuatan Negara, tampaknya guru tidak memiliki kekuatan tawar menawar. Berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat seringkali telah hadir begitu saja di lapangan sehingga guru tinggal menjadi pelaksana atas kebijakan tersebut. Sering dikatakan bahwa guru merupakan pelaku/agen perubahan. Namun fakta ini ternyata sulit atau bahkan jarang kita temukan dalam sejarah politik Indonesia kontemporer, baik setelah kemerdekaan, Orde Baru, maupun Zaman Reformasi. Peranan signifikan para guru sebagai pelaku perubahan justru lebih banyak terjadi dalam konteks sebelum kemerdekaan, dan
hari-hari awal pasca kemerdekaan, seperti tampil dalam sosok para pendidik besar bangsa yang kita miliki, misalnya, R.A. Kartini, Ki Hadjar Dewantoro, dll. Fenomena ini menunjukkan satu kebenaran sederhana, bahwa pendidikan merupakan proses dialogis terus menerus diantara para pelaku dengan kondisi historis masyarakatnya.
Yang menjadi masalah seringkali adalah bahwa ternyata guru adalah bagian dari masalah itu sendiri. Karena itu, bagaimana mungkin mereka yang berada dalam masalah mau berpretensi menjadi solusi bagi perubahan itu sendiri?
Guru tidak mau berubah, itulah masalahnya. Lebih lagi, kalau mereka sudah benar-benar sadar diri sebagai pelaku perubahan, mereka pun juga tidak memiliki pemahaman jernih tentang objek perubahan yang diarah itu sendiri.
Ketidakmampuan untuk memahami objek perubahan ini seringkali berakar pada pendekatan filosofis yang dimiliki oleh masing-masing guru. Jika guru memiliki gagasan filsafat bahwa pendidikan itu bertujuan untuk mencetak individu yang terampil sehingga menjadi pribadi yang mampu hidup secara mandiri dengan ketrampilan dan kemampuan kerja tertentu dalam masyarakat, seluruh pengalaman mendidik yang ia lakukan pun akan terarah ke muara ini. Maka latihan, training dan pelatihan akan menempati porsi paling besar dalam kinerja seorang guru.
C. Guru: Intelektual Transformatif
Giroux (2008) berpendapat bahwa cara kita mendefinisikan peranan guru dalam masyarakat menentukan cara di mana kita mengonstruksi tatanan masyarakat.
Kita mesti memahami kembali peranan para guru sebagai intelektual
transformatif dan terlibat (engaged and transformative intellectuals). Ini
berarti kita mencoba memandang guru sebagai profesional yang mampu dan mau merefleksikan prinsip-prinsip ideologis yang menjadi pandu bagi praksis mereka, yang menghubungkan teori pedagogi dengan persoalan sosial yang lebih luas, melatih kekuatan yang mereka miliki untuk menguasai kondisi pekerjaan mereka. Dengan cara ini, guru mengembangkan visi pembangunan tata masyarakat baru, yaitu, sebuah visi tentang kehidupan yang lebih baik dan manusiawi
melalui pendidikan dan pengajaran yang mereka berikan. Pandangan ini lebih memosisikan peranan guru sebagai pelaku perubahan dalam masyarakat. Pandangan guru tentang masyarakat inilah yang menentukan bagaimana guru melaksanakan tugasnya sebagai pelaku perubahan.
Agar menjadi pelaku perubahan, guru tidak dapat melestarikan pandangan dan paradigma pendidikan yang sifatnya daur ulang dan atau sekedar meneruskan pandangan yang dibawa oleh pasar. Demikian juga, guru tidak bisa sekedar memberikan ketrampilan bagi siswa agar memiliki sikap kritis terhadap situasi sosial di mana mereka tinggal. Di sini, pandangan guru tentang siapa individu siswa menjadi penting, sebab akan memengaruhi bagaimana ia bekerja sebagai pelaku perubahan. Individu adalah mahluk yang bebas dan memiliki
kemampuan untuk terlibat dalam menentukan dirinya, sehingga dengan demikian mereka dapat menjadi pelaku sejarah.
Guru mesti berani mulai mengembangkan paradigma baru yang inspirasi dasarnya adalah nilai-nilai demokratis yang prinsip dasarnya adalah partisipasi tiap individu dalam pengaturan tata kehidupan masyarakat. Hanya melalui inspirasi demokratis inilah terdapat jaminan bahwa setiap warga dalam masyarakat memiliki hak dan persamaan dalam menata hubungan sosial, politik, dan ekonomi antar mereka. Keterlibatan dan partisipasi aktif tiap individu dalam berdemokrasi memungkinkan terwujudnya keadilan, dilindunginya hak-hak kelompok minoritas dan jaminan bagi mereka yang kurang beruntung agar mereka dapat tetap terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat.
Tanpa ada keadilan dan persamaan dalam mengenyam pendidikan, lembaga pendidikan hanya akan melestarikan ketimpangan dan mengelompokkan orang-orang miskin menjadi bagian pasif dan beban bagi masyarakat. Sekali lagi, gagasan guru tentang individu sangatlah penting, sebab pandangan yang tidak adekuat terhadap individu justru bisa memandulkan kinerja tranformatif guru itu sendiri. Contoh, kalau guru menganggap bahwa orang miskin itu hanya pantas mengenyam pendidikan SMK, dia akan mengarahkan anak-anak orang miskin
itu ke SMK, agar segera dapat memperoleh pekerjaan, tanpa memperdulikan apakah pekerjaan itu merupakan pekerjaan bermakna, atau tanpa peduli bahwa setiap individu berhak menggantungkan cita-citanya setinggi langit tanpa dibatasi oleh keinginan terbatas sang guru.

D. Inspirasi Demokratis
Gagasan dasar inspirasi demokrasi dalam pendidikan adalah kepercayaan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam pembangunan masyarakat. Individu bersama komunitas membangun diskursus dan praksis dalam kehidupan bersama yang saling menumbuhkan, bukan saling menindas atau mendominasi satu sama lain. Ada keseimbangan dan keadilan dalam memaknai peranan masing-masing dalam kebersamaan yang sifatnya konstruktif dan penuh rasa hormat. Dalam konteks inilah guru memiliki peranan sangat sentral dalam menanamkan inspirasi demokratis ini pada setiap siswa agar kelak ketika mereka terjun dalam masyarakat, mereka dapat terlibat secara aktif dan produktif. Dengan demikian mereka dapat menyumbangkan potensi pembentukan masyarakat baru yang lebih manusiawi, adil dan memberikan rasa aman dan damai bagi anggota masyarakat tersebut.
Tugas utama guru sebagai pelaku perubahan bukanlah sekedar mengubah perilaku siswa di sekolah menjadi lebih baik dan bertanggungjawab, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, melainkan lebih dari itu, dari perubahan perilaku individu menuju visi rekonstruksi sosial perbaikan masyarakat melalui pengajaran dan pembelajaran. Setiap perubahan radikal ini mengandaikan perubahan paradigma berpikir dalam diri guru. (Louis & Murphy, 1994; Murphy & Louis, 1999).
Guru mendidik dan mengajar para siswa agar pada akhirnya para siswa mampu mandiri dan terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, melalui pendidikan mereka dapat membentuk jiwa-jiwa merdeka, kreatif yang mampu membangun tatanan baru dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang mereka miliki. Pendidikan memiliki dimensi tranformatif bagi pengembangan masyarakat, bukan hanya pengembangan kemampuan akademis siswa. Melainkan mengintegrasikan pengetahuan itu agar mereka dapat terlibat aktif membentuk tatanan baru dalam masyarakat menjadi lebih baik.
Untuk itu reformasi pedagogis dari pihak guru diperlukan. Guru bukan sekedar menjadi agen transfer ilmu, melainkan membentuk siswanya menjadi individu yang mendiri dan bebas menentukan diri. Sikap ini, menurut Giroux (2008), tidak bisa sekedar berupa keterbukaan dari pihak guru untuk mendengarkan suara dari siswa atau memuji narasi baik yang dapat ditulis oleh siswa secara kritis, melainkan agar tidak jatuh pada narsisme, siswa mesti diajak untuk masuk dalam kesadaran akan struktur dan tatanan sosial dalam masyarakatnya supaya mereka “memahami alasan-alasan yang mendasarinya dan mengerti apa artinya bekerja sama secara kolektif untuk mengubah struktur kekuasaan yang bertanggungjawab atas terbentuknya relasi sosial” (106).
Guru sebagai pelaku perubahan akan menghasilkan para pelaku perubahan karena baik guru maupun siswa sama-sama ingin menghayati kebebasan dirinya sebagai manusia yang mampu memahami dan melaksanakan nilai-nilai yang mereka miliki. Kebebasan membuat manusia mampu bertanggungjawab atas hidup mereka sendiridan hidup orang lain. Visi rekonstruksi sosial mesti senantiasa menjadi dimensi dasar yang menjiwai setiap pengalaman pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas. Karena itu, visi pembaharuan itu akan lebih efektif diterapkan dalam rangka perubahan praksis pengajaran di dalam kelas dibandingkan dengan tata cara turun ke jalan dan mogok. Perubahan praksis pengajaran di dalam kelas,yang dibarengi dengan perubahan paradigma dari pihak guru memungkinkan proses transformasi sosial dan perubahan itu terjadi dari lingkungan yang kecil, dalam individu siswa, sekolah, yang pada gilirannya akan memberikan pengaruh perubahan pada tatanan masyarakat menjadi lebih baik.

9 Aliran Filsafat Pendidikan

Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, maka filsafat pendidikan memiliki berbagai aliran atau mazhab, di antaranya :
1. Filsafat pendidikan idealisme
Idealisme berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegensi. Termasuk dalam paham idealisme adalah spiritualisme, rasionalisme, dan supernaturalisme. Tentang teori pengetahuan, idealisme mengemukakan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap karena dunia hanyalah merupakan tiruan belaka, sifatnya maya yang menyimpang dari kenyataan sebenarnya. Selain itu, menurut pandangan idealisme, nilai adalah absolut. Apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik atau jelek secara fundamental tidak berubah, melainkan tetap dan tidak diciptakan manusia. Idealisme memiliki tujuan pendidikan yang pasti dan abadi, di mana tujuan itu berada di luar kehidupan manusia, yaitu manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan menikmati kehidupan abadi yang berasal dari Tuhan.
2. Filsafat pendidikan realisme
Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi merupakan hakikat yang asli dan abadi. Kneller membagi realisme menjadi dua :
a. Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata dan berada di luar pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme klasik dan realisme religius.
b. Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati bukan hasil kreasi akal manusia, melainkan dunia sebagaimana adanya, dan substansialitas,sebab akibat, serta aturan-aturan alam merupakan suatu penampakan dari dunia itu sendiri.
Selain realisme rasional dan realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain mengenai realisme, yaitu neo-realisme dan realisme kritis. Neo-realisme adalah pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat pendidikan yang hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu menghormati hak-hak individu. Sedangkan realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant yang mensintesiskan pandangan berbeda antara empirisme dan rasionalisme, skeptimisme dan absolutisme, serta eudaemonisme dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat.
3. Filsafat pendidikan materialisme
Materialisme berpandangan bahwa realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual, atau supernatural. Cabang materialisme yang banyak dijadikan landasan berpikir adalah positivisme yang menganggap jika sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlah yang dapat diamati dan diukur. Oleh karena itu, positivisme hanya mempelajari yang berdasarkan fakta atau data yang nyata.
4. Filsafat pendidikan pragmatisme
Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak, tidak doktriner, tetapi relatif atau tergantung pada kemampuan manusia. Dalam pragmatisme, makna segala sesuatu dilihat dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan, atau benar tidaknya suatu ucapan, dalil, dan teori, semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan merupakan proses pembentukan dari luar dan juga bukan pemerkahan kekuatan laten dengan sendirinya, melainkan proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman individu.
5. Filsafat pendidikan eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran yang menekankan pilihan kreatif, subjektivitas pengalaman manusia, dan tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Menurut eksistensialisme, pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas, interpretasinya terhadap realitas, dan pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan, tetapi untuk alat pekembangan dan pemenuhan diri secara pribadi.
6. Filsafat pendidikan progresivisme
Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat pada anak, sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru atau bahan pelajaran yang didasari oleh filosofi realisme religius dan humanisme. Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum, pengalaman bersifat dinamis dan temporal sehingga nilai pun terus berkembang.
7. Filsafat pendidikan esensialisme
Esensialisme dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes skeptisisme dan sinisme dari progresivisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah berasaskan nilai yang telah teruji keteguhan dan kekuatannya sepanjang masa. Gerakan ini bertumpu pada mazhab idealisme dan realisme.
8. Filsafat pendidikan perenialisme
Perenialisme adalah aliran yang berorientasi dari neo-thomisme dan memandang bahwa nilai universal itu ada, pendidikan hendaknya dijadikan suatu pencarian dan penanaman kebenaran nilai tersebut. Berikut adalah beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan :
a. Plato : “Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal.”
b. Aristoteles : “Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya.
c. Thomas Aquina : “Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata.”
9. Filsafat pendidikan rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah paham yang memandang pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang berlangsung terus dalam hidup. Rekonstruksionisme dapat dibedakan menjadi rekonstruksionisme individual dari John Dewey dan rekonstruksionisme sosial dari George S. Counts yang keduanya adalah bersumber pada pragmatisme.