Rabu, 12 Januari 2011

FILSAFAT PENDIDIKAN (Bag. II)

Pendidikan ada sejak pertama manusia mengenal komunikasi, sebab pendidikan tak mungkin bisa dilakukan tanpa adanya komunikasi, baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Hal ini bisa dipahami sebab sejak semula, pendidikan beriringan dengan kepercayaan. Kepercayaan terhadap sifat-sifat hakiki kemanusiaan sendiri, dan kepercayaan terhadap ada atau tidak adanya daya ruhaniah yang lebih besar dibanding kekuatan manusia, yang memayungi jagat seisinya. Kepercayaan atas sebuah kebenaran yang disampaikan ke orang lain inilah yang melahirkan adanya pendidikan.
Pendidikan pada masa Sophistic di Yunani dilakukan oleh para guru yang selalu berkeliling mengajar ditempat-tempat umum yang dipanggil dengan nama Sofis. Dalam bahasa Yunani ada kata sophisma yang berarti “akal cerdik, ketrampilan berargumen dengan konotasi licik yang dipakai di dalam perdebatan atau pengajaran dengan satu tujuan yaitu agar keluar sebagai seorang pemenang. Kaum Sofis ini berpendapat bahwa pendidikan yang diperlukan adalah retorika, tata bahasa, logika, hukum, matematika, sastra, dan politik yang di dalam prakteknya kaum Sofis ini “terjebak” ke dalam permainan lambang dan simbol semata dalam bentuk permainan kata, ber-”silat-lidah, menyusun argumentasi yang bersifat manipulatif melalui pemutar-balikan fakta, memanipulasi lambang dan makna yang disampaikan pada para pendengarnya yang menurut Yasraf A. Piliang mereka terjebak di dalam dunia citra (image), dunia lambang yang berbeda dari realitas yang ada, berbeda dari kebenaran itu sendiri. Sehingga kebebasan yang diharapkan ada di dalam proses pendidikan secara tidak langsung sudah mengalami apa yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai “kekerasan simbolik” yaitu kekerasan yang halus dan tak tampak baik dari sisi struktrur bahasa maupun ditingkat semantik yang mengakibatkan di dalam proses pendidikan kaum Sofis yang ada sebenarnya adalah kebebasan semu.
Socrates menganggap bahwa pendidikan yang tidak mengajarkan pada murid untuk mencari kebenaran atau mengajarkan kebenaran tidaklah termasuk pendidikan dalam arti yang sebenarnya. Untuk mencapai kebenaran melalui pendidikan itulah, Socrates menggunakan metoda dialektika yang membebaskan murid untuk berpikir sendiri tanpa terpengaruh oleh gagasan gurunya.Senada dengan Socrates, Plato (427-347 SM) melalui karyanya yang berjudul “Republica” juga menggunakan metoda dialektika ini untuk memberikan kebebasan kepada murid-muridnya untuk berpikir sendiri tentang musik, tentang pernikahan, tentang pemerintahan, tentang perundang-undangan dan yang lainnya. Meski kebebasan di dalam pendidikan diakui perlunya sejak awal adanya pendidikan, tetapi di dalam perjalanan sejarah yang ada, cukup banyak paradigma-paradigma yang meminimalkan kebebasan di dalam pendidikan. Selain di masa Shopistic kebebasan menjadi minim sebab adanya “kekerasan simbolik” yang dilakukan, dimasa-masa selanjutnya masih juga terjadi reduksi kebebasan dalam pendidikan. Seiring dengan masa Yunani Sophistic, berkembang pula pendidikan di Romawi yang meminimkan kebebasan melalui penekanan disiplin, organisasi dan ketrampilan militer.
Santo Benediktus dari Nursia (480-550 M) mendirikan ordonya di Monte Cassino, Italia, dengan dekrit ketat yang meminimkan kebebasan dalam pendidikannya. Pendidikan yang dilakukan mewajibkan setiap biarawan membaca kitab-kitab suci sekurang-kurangnya dua jam perhari, dan tidak memperkenankan membaca buku-buku lain, tidak membolehkan para biarawan itu memiliki pena untuk menulis sendiri.[6] Setelah masa itu dilanjutkan dengan monopoli Gereja atas pendidikan formal di seluruh Eropa yang berlangsung seribu tahun, kebebasan di dalam pendidikan diminimkan lagi sebagai pelaksanaan pendidikan atas doktrin Gereja (kaum Skolastik). Kebebasan berpikir ditekan, kebebasan berbeda pendapat diberangus yang sampai memakan korban seperti Galileo yang harus kehilangan nyawanya akibat berbeda pendapat dengan pihak gereja akan pengetahuan ilmu alam. Berbagai perguruan pendidikan yang bertebaran sampai abad ke 16 masih dilandasi niat untuk memasok calon-calon pendeta dan mendidik kaum ningrat yang kawasan rohaniahnya dikendalikan oleh pejabat gereja.
William F. O’neil berpendapat bahwa pendidikan yang meminimkan kebebasan itu disebut sebagai pendidikan yang konservatif. O’neil membaginya menjadi tiga bagian yaitu pendidikan fundamental, pendidikan intelektual dan pendidikan konservatif. Lebih lanjut O’neil menjelaskan tentang Fundamentalisme pendidikan sebagai berikut :
“pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap Kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang sudah mapan.”

O’neil juga menjelaskan tentang Intelektualisme pendidikan sebagai berikut :
pada dasarnya otoritarian…demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi
O’neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan sebagai berikut :
Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasn perubahan sosial yang konstruktif.

Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan. Pada abad ke 17, muncul kembali pemikiran-pemikiran yang mengedepankan kebebasan di dalam pendidikan di Eropa yang diawali dengan kebebasan dalam pendidikan berdasar kepada paradigma liberal arts klasik.
William F. O’Neil menyebutnya dengan pendidikan Liberal yang oleh O’Neil dibagi menjadi tiga macam yaitu Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan.
O’Neil menjelaskan Liberalisme pendidikan sebagai berikut:
tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif.

O’Neil menjelaskan Liberasionisme pendidikan sebagai berikut :
Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin

Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-fakta,mencari yang obyektif,melalui pengamatan atas kenyataan.
O’neil menjelaskan Anarkisme pendidikan sebagai berikut :
seperti pendidik liberal dan liberasionis, pada umumnya (anarkisme pendidikan) menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah)
Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga.. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan sekalian.

Tidak ada komentar: