Rabu, 12 Januari 2011

HERMENEUTIKA KRITIS*

A. SEJARAH MUNCULNYA

Orang-orang yang paling gigih dan paling mendetail dalam mengkritik hermeneutika dialogis, datang dari mazhab Frankurt (teori kritis), dan tentu saja yang paling penting dan berpengaruh dari aliran ini adalah kritik yang dibuat oleh Jurgen Habermas (L: Diisseldorf, 18 Juni 1927), kritik ini, dalam kontek kekinian dikenal sebagai perdebatan Habermas - Gadamer.
Dari sinilah prosesi pertukaran dilangsungkan, dimana kemiripan dan perbedaan paling penting diantara hermeneutika dialogis dan teori kritis dijelaskan, disandingkan, dan dipertandingkan.
Menurut perspektif teori kritis Habermasian, hermeneutika dialogis terbuka bagi tuduhan konservatif karena penekanannya pada sejarah yang efektif, otoritas tradisi dan seruannya pada “kebijaksanaan praksis”.1 Dari sudut pandang teori kritis, upaya Gadamer merehabilitasi “tradisi dan prasangka”, dan pendapatnya bahwa semua pemahaman terjdi dalam tradisi, mengabaikan peluang untuk mengembangkan refleksi kritis.
Jika semua pemahaman adalah penafsiran seperti dalam pengertian yang dimaksudkan Gadamer, maka refleksi kritis yang berupaya untuk menjaga jarak dari tradisi dan menawarkan kritik rasional terhadap tradisi akan menjadi sesuatu yang mustahil. Kita, para pembaca-penafsir ini, akan nampak sebagai segerombolan manusia tidak bertenaga, yang tanpa daya menerima begitu saja warisan tradisi.
Yang diinginkan Habermas adalah sebuah dimensi kritis dalam pemikiran hermeneutika, yang akan memungkinkan kita untuk mengangkat sebuah kritik ideologi (idiologiekritik)2tanpa harus mengorbankan konteks kesejarahan sebuah gagasan.
Bagi Habermas, refleksi kritis meraih kekuatannya secara tepat dan efktif, karena ia bisa mengambil jarak secukupnya dari tumpukan beban prasangka, untuk kemudian menundukkannya dibawah kritik rasional. Namun sejak awal praktik seperti ini telah ditolak oleh hermeneutika dialogis. “karena adanya hk berprasangka yang dijamin oleh tradisi”, ujar Habermas, maka “prasangka Gadamer telah mengabaikan kekuatan reflksi”, yang merupakan anugerah tak ternilaimanusia.
Bagi Habermas, rapuhnya kekuatan relektif dan pengunggulan tradisi pada hermeneutika dialogis telah mereduksi akal pada sebuah kepekaan konteks-spesifik yang sempit dan menjad abai terhadap kemungknan validitas lintas budayanya. Habermas mengisaratkan bahwa hermeneutika dialogis secara tidak sadar telah benar-benar menjadi nalar ideologs pnyokong statu quo, kemapanan, karena berupaya melegitimasi prasangka-prasangka yang berlaku saat ini hanya dangan merujuk pada otortas tradisi.
Habermas menunjukkan bahwa tekstualitas dapat dijajah atau dimanipulasi oleh kekuatan opresf dari ekonmi maupun politik—meskipun sepintas terkesan tidak ada hubungannya atau secara praktis tidak terlampau bahaya. Manipulasi tekstualitas bisa dimainkan oleh “kapitals” (Karl marx), oleh “norma-norma cultural” (Nietzsche), atau olh “alam bawah sadar” (Sigmund Frud).
Sayangnya, kekuatan manipulatif tidak cukup terbaca oleh Gadamer. siapa bisa menjamin bahwa pembacaan yang kita lakukan sedang mengarah padkebenaran teks, kalau ternyata tekstualitas bisa terselubungi oleh kabut ideologi dan kesadaran palsu.

B. TUJUAN KEBERADAANNYA
Dari uraian sejarah kemunculannya, terlihat bahwa tujuan hermeneutika kritis adalah untuk mendiagnosa secara cermat patologi-patologi tersembunyi yang mengeram dalam teks dan untuk mmbebakannya dari distorsi ideologis.
Habermas berpendapat bahwa dengan membatasi pengetahuan hanya pada “bahasa sehari-hari” (bahasa non saintifis), Gadamer mengabaikan refleksivitas. Menurut Habermas, Gadamer sedang mempertentangkan kebenaran dengan metode, Gadamer seolah-olah ingin menyangkal kemungkinan bahwa sebuah kosokata yang dibentuk diluar bahasa sehari-hari, seperti bahasa tehnikal atau bahasa ilmiah, bisa melahirkan refleksi (kebenaran).
Kebenaran bagi Gadamer, hanya bsa terjadi di dalam tradisi (pengalaman komunikasi sehari-hari), dan tidak mungkin diperoleh melalui cara pengambilan jarak, atau distansi. Ini adalah suatu persoalan bagi Habermas, karena tradis linguitik akan menjadi sebuah produk kekuasaan dan memampangkan sebuah pemahaman yang terdistorsi.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa teori kritis ingin mengubah haluan perhatian hermeneutika dialogis dari makna pemahaman menuju kendala-soial terhadap pemahaman. Melalui teori kritis, Habermas mengingatkn kita “jika kemungkinan (dialog) ternyata lebih merupakan sebuah ‘harapan’ kosong, dan andai ia tertanam dalam praktik-praktik social, ini menuntut sebuah transformasi kondisi-kondisi material yang menghalangi dan mendistorsi komunikasi.




C. CONTOH PENERAPANNYA

Kita misalkan dengan istilah “goyang erotis”, yang beberapa minggu yang lalu, pembahasannya berada di berita utama Koran-koran nasional kita. Sebenarnya kekuatan apakah yang menyeringai dibelakangnya ?
Ketika Jaja Mihardja merasa “saya sebagai laki-laki juga akan terangsang” melihat goyang ngebor Inul Daratista, disini terekam kuat betapa hegemoni patriakhi begitu lekat dan menghunjam. Kalau P. Jaja yang terangsang, mengapa pula Ibu asal pasuruan itu yang disalahkan. Inul yang memiliki pantat berkeahlian ngebor Itu, ternyata tak boleh mengontrol tubuhnya sendiri.
Apa benar Aminoto, Gusdur, atau Sumanto juga terangsang dengan “goyang erotis” milik Inul itu ? Bukan apa-apa, tapi kalau “saya sebagai laki-laki” sudah dipenuhi pikian ngeres, ngeliat kambing telanjang (mungkin, ada kambing br-BH) “juga akan terangsang”.
Tidak sadarkah, bahwa “goyang erotis” atau “saya sebagai laki-laki” adalah cermin patriakhsme yang menindas “saya sebagai perempuan”. Begituah, Gadamer luput membuat cermatan, bahwa tradsi patrakhi yang diusung P.Jaja juga bisa menjadi sumber ketidakbenaran.
Karena ia berlangsung dalam bahasa sehari-hari, maka tingkat pemahaman hermeneutika, di mata Habermas, pada intinya adalah bercorak pra-relksif, pra-torits, dan dengan demikian tidak kritis.
Sebaliknya, akal trnyata “membuktikan dirinya mampu menolak klaim tradisi…bahwa otoritas dan pengetahuan tidak mencapai titik temu”. Untuk menjadi reflektif, hermeneutika melangkah ke luar dari trdisi dan menjadi sesuatu yang lain. Dan untuk melakukan ini, dalam mengobyektivikasi atau menjaga jarak dirinya, ia menjdi ilmu sosial, ia menjadi teori kritis.
Teori kritis, dengan begitu, merengkuh kemampuan reflektif akal dan rasionalitas untuk mendefinisikan dirinya dan mempertahankan tujunnya menjadi teori emansipatoris.


D. KRITK TERHADAP HABERMAS

Bahasan diatas, yang sedianya hendak menunjukkan pembacaan Habernmas terhadap Gadamer, setidaknya untuk sebaian, cukup menyesatkan karma Haberma salah dlam mmahami pernyataan Gadamer menyangkut akal dan pemahaman. Dalam perdebatan ini, Habermas menuduh Gadamer sedang membela tradisi diatas akal dan sedang mengabaikan kekuatan emansipatoris akal itu sendiri. Gadamer mempertahankan pernyataannya bahwa apa yang dianggap sebagai masuk akal ada pada sebuah otoritas yang lain dari pada otoritas akal itu sendiri, yang didapatkan dari masa lalu dalam bentuk tradisi.
Gadamer tidak menyatakan bahwa akal semestinya berdiri secara berlawanan dengan tradisi. Tidak pula Gadamer menyangkal hasrat untuk melakukan tindakan refleksi, atau menganggap legitimasi selalu inheren dalam setiap aspek tradisi. Tradisi diangkat untuk menguji dirinya dan perjumpaannya dengan yang lain, dan perjumpaan ini pada gilirannya membantu menyingkap batas-batas tradisi, atau dalam bahasa Gadamer, menyingkapkan prasangka-prasangka apa-apa saja yang absah dan yang tidak. Dengan kata lain, pemahaman Gadamer mengenai tradisi tidak harus dimaknai dengan maksud menempatkan setiap aspek yang ada dalam tradisi sebagai sesuatu yang mesti absah, sebagai warisan yang harus dirawat.
Apa yang hendak dikemukakan adalah, bahwa setiap pengujian terhadap absah-tidaknya sesuatu hanya mungkin bisa dilakukan melalui mediu bahasa, suka atau tdak uka, hanya mungkin kita peroleh dari warisan tradisi itu sendiri. Benar, bahwa bahasa tidak mungkn menyediakan rumusan yang baku dan statis, tapi juga sama mustahilnya kalau orang mengandaikan bisa berbahasa diluar kontek tadisi.
Maka, lebih daripada mengabaukan kekuatan refleksi, Gadamer semata berupaya untuk melawan keangkuhan berlebihan yang diwariskan pncrahan mengenai kemampuan akal untuk mengamati realitas sesungguhnya kehidupan manusia melalui prasangkanya sendiri. Akal-budi bukanlah cermin dimana kebenaran bisa memantulkan diri sepenuh-penuhnya. Akal-budi hanya bersfat enyeleksi dan mendistorsi, karena itu, apapun yang berpangkal pada akal-budi menjadi relatif, bukan hakikat yang mutlak-tak terbantah. Dan sesuatu yang relative, secara moral maupun akal, tidak layak diberhalakan.
Jadi, tidak benarlah jika hermeneutika dialogis disebut menolak pada kritik atau penggunaan akal untuk memahami dan bersinggungan dengan serentetan prasangka.3Gadamer hanya memberikan sebuah diskripsi berbeda tentang apa yang harus dilakukan akal. Dalam pengertian ini, hermeneutika dialogis sesungguhnya tidak tidak cukup tepat untuk dinilai sebagai hermeneutika konservatif.

Tidak ada komentar: