Rabu, 12 Januari 2011

PROBLEM HERMENEUTIKA DALAM PENAFSIRAN AL-QURAN

Al-Quran merupakan sumber keagamaan terbesar umat Islam, yang selalu dijaga keotentikannya. Dia adalah petunjuk untuk mengetahui kehendak Allah. Maka manusia yang ingin mengetahui dan berjalan sesuai dengan kehendak Allah demi selarasnya pikir dan dzikir serta tergapainya kebahagiaan dunia dan akhirat hendaknya memahami, meresapi dan menghayati petunjuk-petunjuk-Nya yang termaktub dalam Kitab Suci ini. Upaya memahami petunjuk-petunjuk-Nya sesuai dengan kemampuan manusia ini disebut dengan tafsir.
Penafsiran al-Quran menjadi kebutuhan yang sangat primer mengingat redaksinya bersifat sangat beragam; ada yang jelas dan rinci, di samping itu ada yang samar dan global. Dengan segala keterbatasan akal pikiran manusia, harus diakui terkadang redaksi al-Quran yang bersifat jelas masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut; sekali membaca al-Quran seakan sudah paham, ketika bacaan tersebut diulang kembali akan ditemukan makna-makna lain yang berbeda dengan makna sebelumnya hingga ditemukan kalimat atau kata yang mengandung arti yang beragam bagai intan permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudutnya yang lain1.
Dalam ensklopedi tematis dunia Islam, Dr. Masykuri Abdillah menegaskan bahwa ilmu tafsir memperoleh perhatian besar, mencakup wilayah kajian yang luas dibandingkan dengan ilmu-ilmu al-Quran lainnya mengingat penafsiran al-Quran sudah dimulai sejak zaman Rasulullah. Paska kepemimpinan Rasulullah, pola penafsiran mengalami pergeseran sesuai dengan kondisi sosio-kultural yang ada; Umar bin Khattab misalnya, dia banyak menggunakan rasio dalam pemahaman dan mengamalkan al-Quran. Sementara itu, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas menggunakan hadits untuk menafsirkan al-Quran2.
Penafsiran al-Quran tidak pernah berhenti, selalu dinamis dari masa ke masa karena redaksinya mengandung makna yang beragam, selalu menghadirkan hal-hal baru. Karenanya tidaklah salah apabila Rasulullah SAW menggambarkan al-Quran sebagai kitab yang isinya adalah berita masa lampau dan masa depan; tidak lekang oleh panas dan tidak rapuh karena hujan3.
Perjalanan waktu yang selalu maju, membuat para pemikir Islam kontemporer mengatakan bahwa al-Quran harus mengalami perubahan, seperti halnya yang dikatakan Arkoun bahwa al-Quran sebagai kitab suci umat Islam tiada bedanya dengan lapisan bumi yang paling dalam, maka lapisan tersebut sudah seharusnya diperbaharui agar memiliki corak tersendiri dan terlihat lebih menarik. Ternyata usaha ‘pembaharuan’ tersebut tidak sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tafsir yang telah diuraikan oleh para ulama dahulu. Arkoun dengan menggunakan hermeneutika dekonstruktif mencoba menafsirkan al-Quran namun tidak sesuai hasil penafsirannya dengan penafsiran para ulama, bahkan melenceng dari kaidah tafsir yang ada4. Begitu banyak usaha para pengkritik al-Quran namun usaha mereka selalu menemui kegagalan. Menurut Quraish Shihab, faktor-faktor yang menyebabkan kekeliruan dalam penafsiran al-Quran adalah: subjektifitas penafsir; kekeliruan dalam menerapkan kaidah tafsir; kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat; kedangkalan pengetahuan tentang objek uraian (ayat) yang dibicarakan; tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan lintas ayat, maupun kondisi sosial masyarakat; dan tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditunjukkan5, di samping itu seorang mufassir harus: memiliki pengetahuan bahasa Arab dalam segala bidangnya; memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Quran, sejarahnya, hadits-hadits Nabi dan Ushul al-Fiqh; paengetahuan tentang prinsip pokok keagamaan dan pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Maka sungguh Allah Maha Benar dengan firmannya: sesungguhnya Kami menurunkan (al-Quran) untuk dzikir dan Kami menjaganya (al-Hijr:
Usaha Arkoun dengan hermeneutika dekonstruktifnya adalah salah satu usaha untuk mengkritik al-Quran yang menjadi tantangan bagi umat Islam setelah dilontarkannya kritik al-Quran dari segi periwayatan dan penemuan mushaf baru; dua jalan untuk mengkritik al-Quran tersebut tidak membuahkan hasil, bahkan sia-sia, karena periwayatan al-Quran sangat mutawatir; mereka yang mengatakan bahwa pembukuan mushaf Utsmani sangat kental dengan unsur politik tidak memiliki fakta, hanya praduga belaka. Tentu saja hal tersebut sangat tidak ilmiah. Adapun jalan kedua; dengan menemukan mushaf baru tidak akan diakui oleh umat Islam dan para ulama maka hasilnya tetap akan sia-sia karena al-Quran kesuciannya akan selalu terjaga, kebenarannya akan selalu benar dan tidak ada kitab suci yang lebih baik selain al-Quran yang berisi kalam Sang Pencipta.
Dari ketiga jalan untuk melontarkan kritik terhadap al-Quran yang paling berpengaruh dalam pemikiran Islam adalah seperti apa yang dilakukan oleh Arkoun; menggunakan Hermenutika dalam penafsiran al-Quran. Arkoun menggunakan Hermeneutika dekonstruktif miliknya Jacques Derrida6. Bukan hanya Arkoun, Riffat Hasan, tokoh feminis populer di kalangan dunia Islam corak penafsirannya juga terpengaruh dengan Hermeneutika dekonstruktif ini untuk memunculkan penafsiran yang memperkuat gagasan pemikiran Feminisme mengingat tafsir-tafsir yang dikarang oleh para ulama terdahulu tidak mendukung gagasan tersebut, dan masih banyak orang menggunakan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran dalam rangka memperkuat subjektifitas gagasan pemikirannya.
Tulisan ini akan mencoba menguak hermeneutika dan apa yang ada di baliknya.yang selama ini mulai diminati dan menjadi kajian serius banyak kalangan dengan dalih ‘pembaharuan penafsiran al-Quran’.

Wajah Hermeneutika
istilah ini berasal dari bahasa Yunani Hermenuein yang berarti ‘menafsirkan’, kata bendanya hermeneia yang berarti ‘tafsiran’. Dalam tradisi Yunani Kuno kata Hermeneuein mengandung 3 makna; mengatakan7, menjelaskan, dan menerjemahkan. Dalam bahasa Inggris diekspresikan menjadi ‘to interpret’. Dengan demikian interpretasi menunjuk pada tiga makna yang terkandung dalam kata Hermenuein.
Dalam pandangan terminologis Hermeneutika dapat diartikan sebagai seni dan ilmu menafsirkan khususnya teks kitab suci. Pendapat lain berbicara bahwa hermeneutika merupakan filsafat yang objek kajiannya terfokus pada ‘pemahaman pada pemahaman’ terhadap teks, terutama teks kitab suci yang berasal dari masa, lokasi dan situasi yang beragam. Istilah ini sering dihubungkan dengan ‘Hermes’, tokoh dalam mitos Yunani yang menjadi perantara antara Zeus dan manusia. Pada suatu, ketika menyampaikan pesan Zeus untuk manusia Hermes mendapatkan persoalan yang cukup berat ‘bagaimana menjelaskan bahasa Zeus yang menggunakan ‘bahasa langit’ agar bisa dimengerti oleh manusia. Solusi yang ditemukan oleh Hermes adalah menerjemahkan bahasa Zeus ke dalam bahasa manusia yang termaktub dalam teks suci8 .
Hermeneutika dalam bahasa Jerman disebut Hermeneutik, dalam bahasa Prancis disebut Hermeneutique dan bahasa Latin menyebutnya Hermeneutica. Richard E. Palmer menyebutnya dengan menambah ‘s’ di akhir kata sebagi simbol pola baru teori hermeneutika9. Lebih lanjut, Richard mendefinisikan hermeneutika ke dalam 6 bentuk10:

1. Teori penafsiran kitab suci (Bibel)
Sebelum melangkah lebih jauh menuju hermeneutika sebagai penafsiran Bibel, alangkah baiknya kita mengetahui bagaimana istilah Bibel itu muncul. Istilah ini digunakan dalam agama Yahudi dan Kristen. Keduanya memiliki subjektifitas pemahaman yang tidak mau ditentang; menurut Yahudi perjanjian baru (the new testament) adalah tidak diakui, mereka menggunakan perjanjian lama yang mengindikasikan perjanjian dengan Tuhan. Adapun ajaran Kristen berpendapat bahwa perjanjian lama tidak diakui lagi karena perjanjian baru lebih aktual dengan Yesus sebagai pembawanya, sang penyelamat manusia. Kedua perjanjian tersebut terikat dengan benang merah bahwa otentisitas keduanya sangat dipertanyakan; kitab-kitab perjanjian lama yang berjumlah 39 sama sekali tidak diketahui siapa pengarangnya karena tidak adanya periwayatan yang kuat untuk mendukung otentisitas penulisannya. Di samping itu, perjanjian lama penuh dengan ‘kebejatan moral’. Sebagai contoh: uraian tentang hubungan biologis antara nabi Daud dengan istri panglima perangnya. Adapun perjanjian baru memiliki problem bahwa sampai sekarang tidak ditemukan teks Bibel (perjanjian baru) yang otentik, juga beragamnya Bibel yang mengakibatkan tidak adanya Bibel khusus yang menjadi acuan dasar dogma Kristen; selalu berbeda satu dengan lainnya.
Berangkat dari pemikiran di atas, para pendeta protestan merasa butuh akan hermeneutika untuk membantu mereka dalam menafsirkan Bibel. Tentu saja harapan mereka adalah menemukan kebenaran Bibel. Namun muncul sebuah pertanyaan: apakah dengan berdependensi kepada subjektifitas penafsir akan menemukan kebenaran yang mutlak, Sama saja dengan mencari seekor semut di padang pasir yang luas.

2. Metode filologi
Hermeneutika yang pada awalnya hanya memiliki Bibel sebagai objek penafsirannya berkembang memasuki kawasan filologi. Richard E. Palmer menegaskan:
“with these developments, the methods of biblical hermeneutics became essentially synonymous with secular theory of interpretation-i.e., classical philology. And at least from the enlightenment to the present, biblical methods of research have been inseparably connected with philology. Thus the phrase “biblical hermeneutics” superseded “hermeneutics” as a reference to scriptural theory of exegesis; “hermeneutics” unmodified, was virtually indistinguishable definitionally from philological methodology. A later chapter will explore more specifically the content of philology at the beginning of nineteenth century with a discussion of two great philologists of Schleirmacher’s time, Friedrich August Wolf and Friedrich Ast. It is enough here to say simply that the conception of hermeneutics as strictly biblical gradually shaded into hermeneutics as the general rules of philological exegesis, with the bible as one among other possible objects of these rules”11
(dengan pengembangan ini, metode-metode hermeneutika Bibel secara esensial menjadi sinonim dengan teori interpretasi yang secular-misalnya, filologi klasik. Dan setidaknya dari masa pencerahan hingga sekarang metode penelitian Bibel tidak dapat dipisahkan dengan filologi. Jadi kata “hermeneutika Bibel” menggantikan “hermenutika” sebagai sebuah referensi untuk teori penafsiran kitab suci; “hermeneutika”, yang tidak dimodifikasi, sebenarnya merupakan definisi yang tak dapat dibedakan dengan metodologi filologi. Bagian selanjutnya akan menjelaskan lebih spesifik filologi pada masa permulaan abad ke 19 dengan mendiskusikan dua tokoh filologi besar pada masa Schleirmacher; Friedrich August Wolf, dan Friedrich Ast. Cukup di sini mengatakan secara sederhana bahwa konsepsi hermeneutika yang jelas-jelas bernuansa Bibel secara perlahan menjelma ke dalam hermeneutika sebagai kaidah-kaidah umum dari penafsiran filologi, dengan Bibel sebagai satu dari obyek-obyek lain yang mungkin diterapkan dengan kaidah-kaidah ini)
Sebagai metode filologi, hermeneutika berfungsi sebagai kaidah di mana ketentuan makna verbal peristiwa yang valid dapat dicapai, tentu saja tujuan akhirnya adalah menggapai cita-cita Dilthey untuk menghasilkan validitas dan objektifits interpretasi, seperti yang diutarakan oleh E. D. Hirsch, Jr. Lebih jauh lagi, dia mengutarakan: apabila makna teks selalu berubah tidak akan ditemui norma yang baku, maka dibutuhkan prinsip normatif dimana makna tulisan yang benar itu dapat ditentukan secara valid. Dalam hal ini Hirsch menyediakan makna verbal pengarang sebagai tolak ukur penafsiran dengan tujuan: pertama, untuk membuat makna yang tepat. Kedua, membuat makna objektif. Pendapat ini juga didukung oleh Emilio Betti, bahwa untuk menuju otentisitas makna harus kembali kepada pengarang dan situasi di mana teks itu muncul.
Tentu saja pandangan ini sangat bertentangan dengan “hermeneutika heideggarian, atau Schleirmacherian, atau Gadamerian” yang menekankan pada subjek sebagai penafsir berhak untuk menginterpretasikan teks atau kata sesuai dengan kondisi dan masa yang ada.
Di balik pandangan yang bertentangan ini masih ada beberapa problem lain yang harus diselesaikan; kaitannya dengan kontribusi yang diberikan oleh hermeneutika ala Hirsch terhadap luas dan kompleksnya problematika yang ada di dalam tubuh hermeneutika, dan hermeneutika ala Hirsch ini menurut Richard “inadvisable”(tidak dapat dipertimbangkan)12, dikhawatirkan akan muncul problem hermeneutis yang lain akan terjadi dan masuk dalam kawasan teologi jika pembaharuannya hanya pada “makna verbal”.

3. Pemahaman linguistik
Dalam hal pemahaman linguistik ini, Schleirmacher berpendapat bahwa hermeneutika berperan sebagai ilmu atau seni pemahaman. Hal ini dipertegas lagi dengan munculnya corak hermeneutika yang mengedepankan subjektifitas penafsiran oleh Gadamer; bahwa penafsiran mengandung nilai-nilai estetika yang sangat dalam untuk mengetahui makna yang tersirat dan tidak terbaca sebelumnya. Konsep hermeneutika seperti ini akan berdampak pada kritikan terhadap filologi, karena nantinya hermenutika akan berperan sebagai kaidah pemahaman dengan munculnya hermeneutika sistematis-koheren; sebuah ilmu yang menggambarkan kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog. Hasilnya bukan menjadi hermeneutika dalam paradigma filologi, tetapi hermeneutika umum yang kaidah-kaidahnya dapat digunakan untuk fondasi penafsiran beragam bentuk teks.

4. Dasar ilmu-ilmu sosio-kultural
Membumikan hermeneutika dalam ilmu sosio-kultural (geisteswissenchaften) digagas oleh seorang penulis biografi Schleirmacher yaitu Wilhelm Dilthey. Dia berpendapat bahwa mengekspresikan kehidupan manusia seorang pengamat sosial dalam pengamatannya tidak terlepas dari pemahaman historis. Sayangnya, pemahaman historis tidak termasuk dalam ruang lingkup psikologi yang begitu abstrak.
Lebih jauh dia berpendapat bahwa hermeneutika yang concern dalam sebuah teks akan memperoleh dasar yang lebih humanis dan historis apabila merumuskan metode humanistik yang nyata bagi ilmu sosio-kultural.
5. Fenomenologi
Dalam konteks ini, Hermeneutika tidak mengacu kepada ilmu sosial tapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Heidegger dalam bukunya Being and Time menghasilkan kesimpulan bahwa pemahaman dan interpretasi adalah bangunan dasar eksistensi manusia. Ini merupakan suatu penghargaan yang cukup berarti bahwa hermeneutika dapat memasuki ruang lingkup fenomenologi yang berdasarkan atas fondasi ontologi ala Heidegger.
6. Sistem interpretasi
Orang yang paling berjasa dalam hal ini adalah Poul Ricoer. Dia mengatakan bahwa ada dua hal yang berbeda dari hermeneutika: pertama, yang dipresentasikan oleh Bultman. Dia mengatakan bahwa untuk menafsirkan teks membutuhkan simbol sebagai perangkatnya. Kedua, penghancuran simbol dan proses menuju demistifikasi, tokoh dalam hal ini Ricoer menyebut; Marx, Nietzche dan Freud. Simbol hanyalah topeng palsu yang hanya menimbulkan kepalsuan makna. Untuk memunculkan makna aslinya harus dilihat dari realitas yang ada dan nyata serta tidak menimbulkan keraguan.

Hermeneutika; dari metode penafsiran teks kitab suci menuju terobosan baru metode ilmu pengetahuan
Pada awalanya, hermeneutika berfungsi sebagai teori memahami teks kitab suci, dalam hal ini adalah Bibel. Maka antara Hermeneutika dan Bibel memiliki relevansi yang tak terpisahkan karena ayat-ayat Bibel membutuhkan interpretasi menuju kebenaran yang diharapkan mengingat tidak adanya teks Bibel yang original dan antara Bibel dengan Bibel yang lain tidak memiliki kesamaan13.
Dalam perjalanannya hermeneutika bukan hanya berfungsi sebagai penafsiran teks kitab suci saja. Kegelisahan metodologi ilmiah karena besarnya pengaruh paradigma positivisme dalam ilmu sosial telah membuat Hans George Gadamer dalam bukunya Truth and Method membawa hermeneutika menduduki posisi yang cukup signifikan sebagai terobosan metodologi baru dalam ilmu sosial14. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa arti sebuah teks bukan hanya milik pembuat teks tersebut melainkan milik setiap orang yang menginterpretasikan teks tersebut dan mengedepankan kondisi masa dan lokasi di mana si penafsir berada. Masa depan juga memiliki andil dalam menghasilkan ‘buah penafsiran’ karena di dalamnya terdapat nuansa produktif. Maka proses hermeneutis tidak terbatas pada maksud pemikiran pengarang saja atau pada situasi sekitar teks itu muncul.
Maksud dari gagasan Gadamer yang tersebut di atas adalah peran subjek penafsir yang begitu dominan; ragamnya pemahaman yang ada adalah bentuk dari kesadaran dialogis dan dialektis lintas cakrawala tradisi klasik, kontemporer dan futuristik, sehingga semuanya melebur dan melahirkan produktifitas makna teks, dalam artian kebanaran sangat kental dengan pluralistik sesuai dengan tradisi yang berkembang. Hendaknya kita tidak terpaku atau terkagum dengan penjelasan ini yang nantinya membuat kita melupakan kaidah dasar dalam menafsirkan teks kitab suci kita bahwa penafsiran yang menjadi dasar utama adalah al-Quran ditafsirkan dengan al-Quran sendiri, hadits Rasulullah SAW, perkataan para sahabat dan perkataan ulama tabi’in15. jelas berbeda dengan hermeneutika yang mengedepankan subjektifitas penafsir. Di samping itu, harus diketahui bahwa hermeneutika sepertinya menjadi identitas kaum relatif yang menjadi salah satu dari 3 kelompok kaum sophist: pertama, kelompok agnostik yang mengatakan ‘tidak tahu’ atau ragu-ragu tentang eksistensi sesuatu dan meragukan sesuatu tersebut. Kedua, kelompok relatif yang mengatakan bahwa ilmu sifatnya subjektif. Kaum ini menerima ilmu pengetahuan dan kebenaran, tetapi menolak bahwa keduanya bisa dikomunikasikan karena subjektif dan berorientasi pada pemikiran dan pendapat masing-masing. Ketiga, kaum nihilis yang menafikkan realitas dan menganggapnya sebagai fantasi16. Maka tidaklah salah bila kita berpendapat bahwa hakikat sesuatu adalah tsabit, dan pengetahuan kita tentang hakikat tadi adalah benar dan tidak sama dengan pendapat kaum sophist.

Dampak Penafsiran al-Quran dengan Hermeneutika
Kajian hermeneutika masih kontroversial; antara Betti dengan Gadamer, juga Poul Ricoeur yang mencoba menengahkan antara kedua pihak sebelumnya. Dia cenderung menggunakan psikoanalisanya Freud dalam hermeneutikanya sehingga menghasilkan hermeneutika baru yang lebih lanjut diutarakannya “tidak ada kitab-kitab aturan yang universal bagi penafsirannya”. Hal ini berdampak dengan selalu munculnya kaidah-kaidah baru dalam penafsiran dan tidak adanya kaidah yang baku, selalu berubah.
Dapat kita deskripsikan sendiri apa yang akan terjadi dengan al-Quran apabila ditafsirkan dengan metode hermeneutika ini. Tentu saja akan memunculkan penafsiran-penafsiran yang tidak beraturan dan sangat beragam serta tanpa batas. Dari satu penafsiran muncul penafsiran lain, dari penafsiran tersebut membutuhkan penafsiran lagi hingga akhirnya menghasilkan lingkaran penafsiran dan tidak ditemukan hasil yang baku dari sebuah penafsiran. Dengan demikian subjektifits penafsiran akan terlihat jelas, dan akan semakin jauh dari makna aslinya.
Berbeda dengan Bibel yang sudah kehilangan otentisitasnya, penuh dengan pemikiran manusia, mitologi dan distorsi. Maka dia membutuhkan hermeneutika untuk menemukan makna asli dari ayat-ayat Bibel.

Perbedaan Tafsir dan Hermeneutika
Harus diakui bahwa tafsir dan hermeneutika memiliki satu benang merah yaitu; aktifitas penafsiran. Namun latar belakang yang menyebabkan munculnya kedua istilah ini sangat bertentangan. Tafsir sebagai ilmu pertama yang muncul dalam tradisi keilmuan umat Islam yang dibangun berdasarkan struktur, tujuan, pengertian, pandangan dan kebudayaan agama Islam digunakan untuk menafsirkan kitab yang diyakini kebenarannya oleh seluruh umat Islam. Maka terlihat sekali bangunan epistimologi dalam ilmu tafsir ini tidak hanya berdasarkan nalar akal yang terbatas, dia juga dibangun berdasarkan landasan keyakinan. Berbeda dengan Bibel yang dalam sejarahnya saja penuh dengan pertanyaan sejauha mana otentisitas Bibel dapat diuji dan tentu saja hermeneutika dibutuhkan sebagai alat interpretasinya.
Karena itu, sebelum kita menggunakan suatu metode keilmuan untuk digunakan dalam pembahasan suatu ilmu harus menemukan kesesuaian antara obyek yang akan dibahas dengan metode yang akan digunakan agar menghasilkan kesimpulan yang diharapkan. Adapun mereka yang menggunakan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran sangat kental dengan ‘kelatahan intelektual’ dan tidak memandang worldview yang melatarbelakangi munculnya dua istilah yang berbeda; hermeneutika dan tafsir, serta tidak memperhatikan otentisitas kedua kitab suci antara al-Quran dan Bibel yang jelas memiliki perbedaan yang kental. Maka tidak seharusnya kita tidak mengikuti penunjuk jalan yang membawa kita ke kandang singa, yang akhirnya kita tidak melihat keindahan pemandangan singa tersebut, tapi menjadi santapannya.

Catatan kaki
1
Hal ini dibuktikan oleh Rasulullah sendiri; pada suatu hari Rasulullah didatangi al-Walid bin al-Mughirah, kemudian berkata: “Hai Muhammad, bacakan al-Quran untukku”. Kemudian Rasulullah membacakan surat al-Nahl: 90. belum selesai Rasulullah membacakan ayat tersebut, al-Walid bin Mughirah meminta pengulangan pembacaan ayat tersebut karena kagum kepada keagungan bahasa dan kesucian maknanya dan ingin mengambil hikmah dari ayat tersebut. Tidak lama berselang al-Walid mengangkat suaranya memberi pengakuan, bersaksi atas kesucian firman Allah. Ia berkata: “demi Allah, sungguh al-Quran ini betul-betul indah yang di dalamnya terdapat keindahan, ibarat pohon yang bawahnya berdaun lebat dan atasnya berbuah. Al-Quran ini tidak diucapkan oleh manusia. Lihat Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim; Minhajul Muslim, (terj) oleh Fadhli Bahri, Darul Falah, 2003, hal: 113-114.
2 Masykuri Abadillah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol: 1, PT Ichtiar Baru VanHoeve, Jakarta, 2003, hal: 234
3 Quraish Shihab, “Membumikan” al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 2003, hal:15
4 Lihat Ugi Suharto, Gugatan Terhadap Otoritas Mushaf Utsmani Dan Tafsir Qath’i, makalah dalam workshop “Merespon Gerakan Islam Liberal”, Wisma Darussalam Gontor Ponorogo, 27 Mei 2004
5 Quraish Shihab, OpCit, hal: 79.
6 Derrida mengkategorikan atau biasa disebut dengan kehadiran adalah pembahasan metafisika. Dalam tradisi metafisika menghadirkan
being dengan tanda sebagai representasi dari being itu sendiri. Maka tanda akhirnya menunjuk kepada objek itu sendiri. Lebih lanjut, Derrida berpendapat bahwa kehadiran bukan instansi independen yang mendahului tuturan dan tulisan kita, tetapi sebaliknya ditampilkan dalam tuturan dan tulisan. Kata-kata menunjuk kepada kata-kata lain. Dengan pemahaman ini, Derrida menggunakan dekonstruksinya untuk menuju ‘pemahaman’. Lihat: K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996 hal:330-331.
7 Arti hermeneutika ‘berbicara’ atau to say ditekankan lebih lanjut dalam Encyclopedia of Americana: “untuk berbicara” seperti halnya “ untuk menginterpretasikan” dan walaupun berbicara dipandang sebagai menginterpretasikan pemikiran seseorang ke (orang) yang lain, menurut Aristotle’s Hermeneutics, sebagai contoh jadilah lebih dari satu buku tatabahasa atau logika dibanding satu penafsiran manual.Asal. Hermeneutics di (dalam) [perasaan/pengertian] yang sekarang mulai dengan penafsiran teks yang di atasnya kebudayaan barat menemukan identitasnya. Untuk lebih jelasnya lihat Encyclopedia Americana, Vol 14, Grolier incorporated, international headquarters: Danbury, Connecticut. 1997, America, hal: 137
8 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2004, hal: 166
9 Richard E. Palmer, Hermeneutics; Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Northwestern University press Evanston, 1969, hal:xiv
10 Ibid, hal: 33
11 Ibid, hal: 40
12 Ibid, hal: 65
13 Adian Husaini mengutip tulisan Prof. Bruce M. Metzger, seorang guru besar bahasa perjanjian baru di Princeton Theological Seminary dalam bukunya yang berjudul A Textual Commentary on The Greek new Testament (terbitan United Bible Societies, corrected edition, 1975): terdapat dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bibel; Pertama, tidak adanya dokumen Bibel yang asli saat ini. Kedua, bahan-bahan yang ada sekarang ini sangat beragam dan berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya lihat: Adian Husaini dalam Islamia, Thn I, No I, Muharram 1425 / Maret 2004, dengan judul Problem Teks Bible dan Hermeneutika.
14 Hans George Gadamer dalam bukunya Truth and Method mengatakan “seseorang tidak memahami secara tepat hakikat ilmu-ilmu humaniora jika seseorang mengukurnya dengan ukuran meningkatnya pengetahuan tentang keteraturan”. Dalam hal ini jelas sekali bahwa positivisme apabila diterapkan sebagai metode ilmu sosial akan membuahkan hasil ‘memukul ratakan’ sesuatu, atau mengambil kesimpulan hanya sebatas ‘hal yang berpengaruh saja’. Tentu saja hasil kesimpulan ini seperti halnya orang melihat hutan yang terkagum-kagum dengan banyaknnya pohon jati, padahal masih banyak hal-hal indah di dalamnya selain pohon jati tersebut. Maka dalam meneliti ilmu sosial membutuhkan pembahasan yang menyeluruh karena objek pembahasannya selalu dinamis mengikuti pergeseran masa dan kondisi di mana objek tersebut berada. Lebih jelasnya lihat: Hans George Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj dari Truth and Method oleh: Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. hal: 4.
15 Klasifikasi penafsiran al-Quran tersebut dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dengan mengutip pemikiran Ibnu Abbas dalam tafsir al-Thabari Langkah ini sejalan dengan pertanyaan Rasulullah SAW kepada Muadz bin Jabal: “bagaimana caramu menyelesaikan perkara jika datang kepadamu suatu masalah?” Muadz menjawab: “akan kuputuskan menurut ketentuan hukum dalam al-Quran” “kalau tidak kau dapatkan dalam kitab Allah?” “akan kuputuskan melalui hukum yang ada dalam sunnah Rasulullah” “kalau tidak kau jumpai dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah” Muadz menjawab: aku akan berijtihad menggunakan pikiranku secara saksama” kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz seraya bersabda: “segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan rasul-Nya jalan yang diridhai Rasulullah. (HR Abu Daud). Untuk lebih jelasnya lihat Muhammad, Ibnu Taimiyah dan sistem penafsirannya terhadap al-Quran; artikel dalam jurnal penelitian agama, pusat penelitian IAIN Sunan Ampel, no 18, januari-April 1998.
16 Hidayatullah, Wawancara dengan Ugi Suharto edisi 01/XVIII/Mei 2005/Rabiul awwal 1426, hal: 41-42


DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim; Minhajul Muslim, (terj) oleh Fadhli Bahri, Darul Falah, 2003
Encyclopedia Americana, Vol 14, Grolier incorporated, international headquarters: Danbury, Connecticut, Amerika, 1997.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol: 1, PT Ichtiar Baru VanHoeve, Jakarta, 2003
Hans George Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj dari Truth and Method oleh: Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004
Hidayatullah, Wawancara dengan Ugi Suharto edisi 01/XVIII/Mei 2005/Rabiul awwal 1426
Islamia, Thn I, No I, Muharram 1425 / Maret 2004
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2004
Muhammad, Ibnu Taimiyah dan sistem penafsirannya terhadap al-Quran; artikel dalam jurnal penelitian agama, pusat penelitian IAIN Sunan Ampel, no 18, januari-April 1998.
Quraish Shihab, “Membumikan” al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 2003
Richard E. Palmer, Hermeneutics; Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Northwestern University press Evanston, 1969
Ugi Suharto, Gugatan Terhadap Otoritas Mushaf Utsmani Dan Tafsir Qath’i, makalah dalam workshop “Merespon Gerakan Islam Liberal”, Wisma Darussalam Gontor Ponorogo, 27 Mei 2004.

Tidak ada komentar: