Rabu, 12 Januari 2011

AGAMA, PEMBEBASAN DAN TEOLOGI PROFETIK

1. Antaran
Secara ontologis-epistemologis, teologi masih dipahami oleh banyak umat beragama, termasuk Islam terbatas dalam pengertian klasik-tradisional, yaitu sebagai ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dalam makna rigorous, sebagaimana ajaran-ajaran teologi ortodoks, sehingga membuat kita (umat beragama) memiliki jarak dengan realitas kehidupannya, karena nilai-nilai transformasi dan pembebasan kurang tersentuh. Bangunan teologi seperti inilah yang kemudian akhirnya dikritik habis-habisan oleh para cendekiawan, agamawan berikutnya, baik dalam Islam, Kristen, Katolik, Hindu maupun Budha. Dikalangan Islam muncul para filosof kontemporer seperti Ali Syariati, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer dan Zia ul-Haq. Bagi mereka dalam memahami hubungan antara Tuhan, manusia dan alam semesta, teologi harus dipahami sebagai sebuah paradigma yang berisikan kumpulan ajaran agama yang secara koheren bersentuhan dengan realitas social dan mampu memberikan alternatif jawab bagi umat beragama menghadapi tantangan jaman.. Inilah yang pada akhirnya menjelama menjadi sebuah teologi yang membebaskan manusia dari segala problematika kehidupannya.
Saat ini bermunculan keinginan para agamawan untuk memcahkan problematika social memakai pendekatan teologi yang dikenal dengan istilah teologi kontekstual, salah satunya yang terkenal adalah teologi pembebasan. Teologi Pembebasan, baik dari penggunaan istilah maupun sejarah, metode dan praksisnya masih mengundang perdebatan. Penulis tidak akan menguraikan lebih jauh mengenai perdebatan penggunaan istilah ini, karena pada intinya, segala macam sebutan atau penamaan tersebut akan kembali pada usaha untuk membebaskan umat manusia dari ketertindasan, baik itu kemiskinan, kebodohan maupun diskriminasi. Namun sedikit catatan yang menurut penulis menarik adalah digunakannya pula istilah ilmu social Prophetic, yaitu ilmu social yang mengarahkan keadaa menuju arah yang lebih baik dan dikaitkan dengan misi kenabian
2. Makna dan pengertian Pembebasan
Kemudian kita masuk pada pengertian pembebasan (liberation). Bebas , asal kata dari “pembebasan”, dapat diartikan sebagai lepas dari rintangan atau halangan, tiada paksaan dari luar, tanpa hambatan. Namun pengertian kebebasan sebenarnya lebih jauh dari itu, kebebasan seperti itu dapat disebut sebagai kebebasan fisik. Sedangkan banyak juga orang yang walau dalam keadaan fisik tidak bebas namun merasakan kebebasa. Kebebasan adalah sesuatu yang hakiki dalam hidup manusia, kita semua mengalami kebebasan karena kita adalah manusia. Manusia tidak hanya bebas untuk berkeinginan dan berbuat, ia juga bebas untuk memutuskan apa yang akan ia pilih atau perbuat. Kebebasan berarti tiadanya paksaan baik, fisik, moral maupun psikologis. Dalam beberapa artian pokok, kemudian kebebasan diartikan sebagai penentuan diri oleh diri sendiri. Diri sendiri yang mengendalikan, menahan dan mengatur dirinya. Manusia bebas adalah manusia yang mampu untuk berbuat atau memilih atau memutuskan sesuai dengan kemauan-kemauan dan menjadi penyebab-penyebab dari tindakannya sendiri.
Mari lebih dalam kita bahas mengenai “bebas” atau “kebebasan” sebelum kita lanjut pada pengertian pembebasan. Untuk itu saya akan coba merujuk pada beberapa filsuf. Filsafat eksistensialisme memiliki pengertian yang lebih luas mengenai kebebasan, kebebasan dinilai sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan tidak selalu menyenangkan, karena bisa saja suatu yang menyakitkan atau mendatangkan penderitaan. Jean Paul Sartre, melihat kebebasan sebagai hakikat dari manusia. Berada –untuk- dirinya sama dengan kebebasan. Manusia melakukan pilihan-pilihan untuk melakukan dalam kebebasan. Kecemasan karena ia sadar bahwa ia bebas . Beralih pada pandangan lain, kebebasan jika dilihat dari ajaran-ajaran determinisme, kemudian diidentikkan dengan berbuat seturut kemauan kita . David Hume, percaya bahwa kebebasan cocok dengan keharusan dan lawan dari kebebasan bukanlah keharusan melainkan rintangan. Thomas Hobbes lebih jauh menambahkan bahwa manusia sanggup melakukan apa yang ia inginkan. Sedangkan, dengan berangkat pada pandangan yang terpusat pada tindakan-tindakan yang lahir dari motif-motif internal, Immanuel Kant mengidentikan kebebasan dengan otonomi.
Secara singkat ingin dikatakan bahwa, makna kebebasan adalah, suatu keadaan dimana manusia terlepas dari rintangan, ketiadaan hambatan bagi manusia dalam meng-eksistensi-kan dirinya. Maka kebebasan suatu yang hakiki bagi manusia. Manusia yang tidak mengalami kebebasan maka ia tidak memiliki hakikatnya sebagai manusia. Dapat dikatakan bahwa situasi ini adalah situasi ketertindasan dan ketidak adilan. Penyangkalan mengenai eksistensi manusia sebagai manusia. Maka dari itu harus dilakukan suatu tindakan untuk dapat mengembalikan hakikat manusia kepada manusia. Tindakan untuk membebaskan inilah yang kita kenal dengan istilah “pembebasan”.
Untuk mendapatkan pengertian pembebasan yang lebih mengena, saya akan coba membahasnya dalam konteks Amerika Latin, dimana istilah ini muncul dan identik dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh gerkan-gerakan revolusioner. Pembebasan semula adalah reaksi terhadap istilah yang membawa misi sistem ekonomi liberal kapitalis “pembangunan”. Sistem ekonomi yang diekspor oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang ini ternyata membawa bencana berupa eksploitasi, penindasan dan nyatanya jurang antara kelas miskin dan kelas atas. Proses periferalnya semakin kuat antara yang kaya dengan yang miskin. Oleh karena itu istilah “pembangunan” kemudian menjadi milik kaum penindas, sedangkan untuk rakyat yang tertindas lebih cocok istilah “pembebasan”.
Sedangkan arti yang utuh dan integral dalam konteks Amerika Latin mengenai pembebasan terbagi dalam tiga macam yang terkait satu sama lain yaitu, pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial dan politik atau alienasi kultural atau kemiskinan dan ketidak adilan. Yang kedua adalah pembebasan dari tindakan represif yang menghambat kemajuan kualitas manusia, mengangkat hubungan solidaritas dan menentang usaha-usaha yang menghalangi pemanusiaan manusia. Yang terakhir adalah pembebasan dari dosa atau pembebasan spiritual. Masih berbicara dalam konteks ini Leonardo Boff kemudian memberikan rumusan yang sebenarnya memiliki pengertian lebih sempit. Ia berpendapat bahwa kebebasan merupakan proses menuju kemerdekaan dalam bentuk segala sistem yang menindas. Pembebasan yang mengarah pada realisasi pribadi untuk menentukan dirinya sendiri tujuan hidup politis, ekonomis dan kulturalnya. Yang hilang disini ialah penyatuan dengan Tuhan.
Mari kita kembali pada pemikiran Islam dari Asghar Ali Engineer. Dalam pandangannya mengenai pembebasan, Asghar Ali Engineer merujuk pada keadilan sosial. Dimana menurutnya keadilan sosial berakar pada tauhid dan merupakan konsep-konsep pokok dari ajaran Al Qur’an. Menciptakan keadilan akan secara otomatis termanifestasi dalam keyakinan terhadap Tuhan, karena hal tersebut dilihat sebagai konsekuensi. Bagi Asghar Ali Engineer kehadiran Islam adalah untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan (kedzaliman) . Dan keadilan tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan marjinal yang tertindas dan lemah dari penderitaan dan memberikan mereka kesempatan yang sama dengan golongan lain untuk memimpin . Asghar Ali Engineer berusaha memperlihatkan betapa esensialnya arti pembebasan dalam dasar-dasar Islam.

3. Pandangan Mengenai Teologi Pembebasan
Setelah uraian panjang lebar mengenai pengertian teologi dan pembebasan maka kini kita sudah siap untuk memahami mengenai apa yang disebut dengan teologi pembebasan, tentunya dengan mengacu pada pengertian-pengertian di atas.
Untuk sebagian besar, merujuk pada pemikiran Marx dan Engels, hingga saat ini agama masih merupakan kubu yang reaksioner, konservatif, penentang pencerahan akal dan perubahan politik . Mengapa agama, dalam pemahaman dan pengamalan tradisional, begitu anti dengan pembebasan dan begitu mengikat? Harus kita pahami bahwa pada tahap itu agama, saya sebenarnya lebih setuju mengatakan pelaku agama, memandang bahwa ada yang mereka harus pertahankan yaitu legitimasi. Ini kemudian mengharuskan mereka mendekatkan diri pada kekuasaan-kekuasaan yang aktual. Sepanjang kekuasaan itu masih dapat bertahan maka pelaku agama akan memanfaatkannya dan mendukungnya agar dapat bertahan. Tapi hal ini akan begitu saja berubah jika kemudian terjadi perpindahan kekuasaan. Bisa dikatakan bahwa mereka mengambil posisi aman dengan bersembunyi dibalik pernyataan netral terhadap situasi politik. Namun yang dilupakan adalah, ini berarti mereka meninggalkan sebagian umat mereka, yaitu golongan yang bukan kekuasaan atau golongan yang tertindas. Dalam kondisi seperti ini kemudian muncul pemikir-pemikir (diawali oleh para romo di Amerika Selatan) yang sadar akan situasi dan berusaha mengembalikan fungsi agama dan teologi dalam isi dan praktek untuk masyarakat. Kritik Marx atas agama dipahami, bahwa sesungguhnya agama adalah tempat atau sarana yang sangat potensial untuk mengembangkan konsep-konsep gerakan untuk pembebasan. Yaitu dengan cara mengembalikannya pada golongan rakyat tertindas. Mereka kemudian meminjam terminologi Marx untuk mengeluarkan manusia dari alienasi dalam sejarah kehidupan . Agama, lebih jauh lagi dilihat sebagai sarana untuk menganalisis secara kritis realitas sosial yang terjadi. Dengan kesadaran inilah kemudian muncul apa yang disebut sebagai “teologi pembebasan”.
Teologi pembebasan dipahami sebagai refleksi kritis atas praksis, atas pengalaman iman yang konkrit. Refleksi kritis atas iman dan tidak berhenti hanya pada diri sendiri namun berlanjut pada usaha untuk transformasi dan membebaskan manusia seutuhnya. Dalam pengertian ini kemudian pembebasan dilihat sebagai bentuk penyembahan pada Tuhan yang mendengarkan jeritan umat-Nya. Maka teologi pembebasan bukan semata mengenai isi dan obyek kajiannya tapi juga cara berteologi dari praksis iman atau yang dialami dari kurun waktu tertentu. Segundo Galilea merumuskan teologi pembebasan sebagai refleksi iman yang tidak hanya merefleksikan wahyu Tuhan dalam verbalnya saja tetapi juga wahyu Tuhan didalam realitas-realitas kesejarahan. Schoof memandang bahwa teologi merupakan integritas ilmiah atau refleksi metodis atas iman. Dan Teologi yang merupakan kegiatan penalaran tentang ajaran iman, memperbaharui diri melalui tiga saluran yaitu, interpretasi kembali ajaran iman atau disebut juga “ kembali kepada sumber”, melakukan kontak dengan realitas yang dihadapi atau yang terjadi dan yang ketiga adalah rangsangan terhadap teolog-teolog . Singkatnya teologi pembebasan adalah sebuah praksis pembebasan yang mengambil inspirasi dan pendasaran pada refleksi dengan pemahaman yang revolusioner atas iman, yaitu golongan tertindas sebagai locus theologicus.
Ini dapat dilihat sebagai sebuah perkembangan yang maju, dimana agama tampil dengan menggunakan analisis-analisis dan konsep-konsep marxis . Perkembangan ini kemudian mengilhami banyak perjuangan menuju pembebasan sosial. Teologi pembebasan sudah bergerak melampaui perdebatan ideologis maupun teologis yang tradisional. Semangat ini didasarkan oleh kesadaran mengenai kondisi sebenarnya yaitu, kemiskinan yang dihadapi bersama, sehingga para teolog pembebasan ini kemudian mengorganisir untuk berjuang, diilhami oleh suatu iman, dimana matra agama dan moral merupakan faktor penggerak yang hakiki .
Teologi pembebasan yang sering dibicarakan dan dipandang sebagai pelopor gerakan pembebasan yang berlandaskan teologi mungkin adalah teologi pembebasan di Amerika Latin. Seperti telah kita ketahui bahwa teologi ini dipelopori oleh para romo dan mengambil akarnya dari agama Katolik. Namun sebenarnya basis kemunculan teologi pembebasan bukanlah monopoli milik tradisi Kristen saja. Hal tersebut sebenarnya juga merupakan salah satu keprihatinan agama-agama. Bahkan Gandhi dan Buddhadasa dari Thailand sudah berteologi dan menulis tentang tema-tema pembebasan jauh sebelum berkembang teologi pembebasan dikalangan Kristiani . Pada bagian lebih lanjut, mengenai sejarah teologi pembebasan, saya akan mencoba untuk menampilkan fenomena-fenomena serupa yang terjadi dalam agama lain. Sebagai pengantar, teologi pembebasan juga terjadi dibagian lain dunia dan dalam keimanan-keimanan lain. Teologi pembebasan yang berkeinginan untuk membebaskan manusia dari kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan tumbuh subur dinegara-negara miskin atau berkembang dan tertindas. Ia tidak hanya terjadi di Amerika Latin saja, singkatnya teologi pembebasan terjadi pada negara-negara ketiga. Jika kita bagi berdasarkan wilayah maka teologi pembebasan dapat kita bagi dalam tiga jenis yaitu, teologi pembebasan Amerika Latin, teologi pembebasan Asia dan teologi pembebasan Afrika. Teologi pembebasan Amerika Latin jelas lahir dengan mengambil akar dari agama Katolik. Teologi pembebasan di Asia mengambil latar belakang lebih beragam antara lain, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dll. Sedangkan di Afrika adalah Islam dan Kristen. Masing-masing teologi pembebasan ini juga memiliki karakter-karakter yang berbeda. Para teolog Amerika Latin memusatkan diri pada kemiskinan akibat penindasan ekonomi dan politik, para teolog Afrika lebih peka terhadap diingkarinya jatidiri mereka oleh penindasan budaya. Sedangkan para teolog Asia lebih memikirkan religiositas dan pluralisme keagamaan serta dampaknya terhadap perjuangan pembebasan .
Asghar Ali Engineer adalah contoh seorang pemikir yang mengemukakan masalah teologi pembebasan diluar konteks Kristen, ia percaya sekali bahwa Islam merupakan dasar filosofis dan praksis pembebasan. Namun dalam kenyataannya, teologi Islam klasik ternyata tidak mampu menjawab problem-problem sosial kemanusiaan yang dihadapi oleh umat manusia kontemporer. Teologi saat ini menjadi tidak lebih dari sekedar ritual saja, seikat ritual tanpa jiwa atau ruh. Ia memandang perlunya sebuah “pandangan dunia teologi” yang bersifat radikal-transformatif atau disebut teologi sosial kritis. Empowering of the people untuk mengorganisir diri dalam memperbaiki harkat dan martabat sebagai manusia yang manusiawi adalah jiwa Islam. Baginya teologi merupakan sebuah keniscayaan. Lebih dalam lagi Asghar Ali Engineer memahami Islam sebagai gerakan protes dengan semangat revolusioner dan makna-makna serupa itu. Menurutnya, teologi pembebasan dimulai pertama kali dengan melihat manusia didunia dan akhirat, lalu ia seharusnya tidak mempertahankan status qou namun melindungi golongan miskin yang merupakan lawan dari golongan kaya dan kekuasaan status qou. Dengan kata lain, teologi kebebasan adalah gerakan anti kemapanan (establishment) baik politik maupun religius. Maka kemudian teologi pembebasan memainkan peranan penting dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok tersebut dan mempersenjatai mereka dengan senjata ideologis untuk melawan golongan yang menindasnya. Lebih jauh lagi, teologi pembebasan mengakui pluraliatas metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, namun juga meyakini mengenai free will. Teologi pembebasan menurutnya tidak membatasi diri pada pemikiran murni dan spekulatif, tapi melebar menjadi instrumen yang paling kokoh untuk membebaskan umat manusia dari cengkraman para penindas dan memberi ilham untuk bertindak dengan semangat revolusioner dalam berjuang menghadapi tirani, eksploitasi dan penganiayaan. Dengan begitu transformasi dunia menuju keadaan yang lebih baik dapat dilakukan, kondisi-kondisi dapat dirubah melalui teologi pembebasan. Asghar Ali Engineer memandang bahwa pandangan agama dalam konteks kritik Marx dapat ditransformasikan menjadi instrumen yang kokoh bagi perjuangan revolusioner kearah perbaikan dan pembebasan. Lalu mengapa Asghar Ali Engineer menganggap pentingnya peran iman dalam pembebasan manusia untuk menjadi manusiawi? Asghar Ali Engineer menganggap bahwa konsep-konsep kunci dalam Islam tidak dibatasi pemaknaannya hanya dalam makna keagamaan, kemudian ia melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep-konsep kunci dalam Islam. Hasilnya adalah, ia mendapatkan lima konsep yang menekankan pentingnya peran iman dalam perjuangan pembebasan . Kelima konsep itu antara lain, yang pertama adalah konsep tauhid. Asghar Ali Engineer, memandang bahwa tahuhid dalam Islam sebenarnya dimaknai sebagai selain keesaan Allah, kesatuan manusia (unity of mankind). Dan kesatuan ini haruslah sempurna, artinya ia tidak akan ada tanpa terwujudnya masyarakat tanpa kelas, karena masyarakat kelas mencerminkan dominasi yang kuat terhadap yang lemah dan ini jauh dari keadilan masyarakat. Yang kedua adalah konsep jihad. Jihad dipahami sebagai perjuangan melawan segala macam bentuk kedzaliman, ketidakadilan dan penindasan. Jihad harus terus menerus dilakukan hingga pengaruh destruktif itu dapat hilang (perjuangan ini berarti abadi hingga akhir masa). Konsep yang ketiga adalah sabar. Sabar bukan berarti menerima keadaan sebagai status quo dan menunggunya berubah, namun yang dimaksud adalah sabar dalam melakukan perjuangan perubahan sosial, sabar dilihat sebagai senjata psikologis yang kuat dalam menghadapi kesulitan. Konsep kelima adalah iman. Manusia beriman menurut Asghar Ali Engineer, sejatinya dapat dipegang, imannya kepada Allah akan mengantarkannya pada perjuangan yang keras untuk menciptakan keadilan. Orang yang beriman pendapatnya tidaklah kosong dan berakar pada kedalaman pribadinya. Konsep yang terakhir adalah kafir. Kafir disini tidak hanya dimaknai sebagai ketidak percayaan religius saja tapi juga sebagai sikap pertentangan terhadap masyarakat yang adil dan egalitarian yang bebas dari segala penindasan. Asghar Ali Engineer kemudian berpendapat bahwa jika agama masih ingin mendapat tempat dihati kelompok yang tertindas dan lemah, dimana sebenarnya sebagian besar pemeluk agama berasal dari golongan ini, maka perlu dikembangkan teologi pembebasan . Penjelasan Asghar Ali Engineer lebih dalam mengenai teologi pembebasan akan sangat banyak diwarnai dengan penjelasan yang mungkin dapat dikatakan apologetik dan banyak merujuk pada masa awal berdirinya Islam serta perjuangan nabi Muhammad SAW. Ia memang sangat terinspirasi oleh sejarah tersebut dalam pemahamannya mengenai teologi pembebasan dan keadilan sosial masyarakat.
Teologi pembebasan adalah teologi kaum tertindas. Para teolog pembebasan bukanlah orang-orang yang tidak percaya, namun kepercayaan mereka terabaikan. Ketertindasan yang muncul ketika sekelompok kecil elit masyarakat berprikehidupan Barat dan sekuler memerintah sebuah bangsa dan membiarkan penindasan budaya dan agama berjalan terus tanpa ada partisipasi politik yang berarti. Dilain pihak kelompok-kelompok revolusioner sosialis marxis yang berlandaskan pada materialisme dan ateistik, menawarkan alternatif mengenai pembebasan dari ketertindasan tersebut. Sikap netral dan posisi aman serta kepentingan-kepentingan absurd dari agama kemudian mengambil jarak dan meninggalkan mereka yang tertindas. Walaupun sebenarnya tindakan yang salah jika kita mau kembali pada sumber pemaknaan akan iman yang sejalan dengan tindakan.

Pada kasus Amerika Latin ini kemudian memicu sejumlah rohaniwan untuk bangkit mengangkat senjata dan bergerilya membela orang-orang yang tertindas. Gustavo Gutierrez, kemudian membuat suatu pemaknaan penting yang menjadi dasar yang kuat bagi perjuangan pembebasan. Hanya ada satu kenyataan dan sejarah yaitu sejarah manusia yang sedang kita alami. Dan untuk itu aspirasi mereka diteguhkan, untuk memperjuangkan suatu perubahan menyeluruh yang dibimbing oleh iman . Namun teologi pembebasan juga mengalami pertentangan dari dalam lingkungan iman mereka sendiri. Teologi ini kemudian dihujat karena menggunakan analisis marxis yang mencanangkan penentangan kelas dan cenderung tidak kooperatif. 2. Teologi Pembebasan di Asia
Masalah yang dihadapi di Asia ternyata memiliki variabel yang lebih banyak dari itu.Teologi pembebasan di Asia melakukan dialog dalam tiga rangkap yaitu, kaum miskin (sosial-ekonomi), agama-agama besar dan yang terakhir adalah kebudayaan-kebudayaan Asia. Untuk itu saya akan mencoba membagi teologi pembebasan di Asia, mula-mula dari sudut pandang agama-agama, dan konteks tempat akan dibahas kemudian dalam bahasan sejarah teologi pembebasan.

a. Hindu dan teologi pembebasan
Akibatnya adalah kehidupan masyarakat menjadi mandek dan tidak dapat maju. Maka kemudian agama Hindu juga dipandang sebagai fatalis dan kedap terhadap kemajuan.
Agama Hindu dalam teologinya, memiliki 4 tujuan dan empat tahap dalam hidup. Manusia, dalam agama Hindu, harus melalui empat tahap yaitu, brahmacharya (menuntut pengetahuan dan masuk dalam tradisi kelompok-kelompok), grihasta (mengenai relasi antar manusia dan kelangsungan hidup), vanaprasta (kehidupan spiritual dan menularkan ilmu serta ketrampilan), dan yang terakhir adalah sanyasa (meninggalkan dunia, mengembara dan bersiap-siap menghadapi akerat). Komitmen pada hidup dan proses-proses biasa maupun dorongan untuk meninggalkan hidup adalah bagian dari tradisi. Pembebasan dipandang sebagai pembebasan dari suatu lingkaran proses inkarnasi dan karma. Pandangan terhadap usaha pencapaian moksha kemudian dilihat sebagai usaha yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kehidupan dunia dan sama sekali tidak memiliki implikasi dalam politik, sosial maupun ekonomi.
Lalu sistem kasta yang dikenal dalam agama Hindu tidak memungkinkan bagi mereka yang berasal dari golongan kasta terendah untuk mencapai itu semua. Bagi mereka yang berasal dari golongan itu tujuan kehidupan hanya ada sebatas ideologis dan bukan realitas. Kondisi ini, sejalan dengan kemajuan jaman dan tantangan pengaruh peradaban bagi agama Hindu untuk suatu perubahan, akhirnya menimbulkan reaksi-reaksi berupa gerakan-gerakan dan perang-perang untuk pembebasan seperti gerakan Bhakti dan agama Sikh.
Gerakan pembebasan yang paling terkenal mungkin adalah yang dilakukan oleh Mohanndas Karamechand Gandhi. Ia juga memperkenalkan apa yang disebut ke tak patuhan sipil, dimana orang tidak dapat dipaksa untuk mematuhi suatu peraturan yang tidak adil dan ia juga mengemukakan agar dihapuskannya hukum “perihal tak boleh disentuh” bagi golongan dari kasta rendahan.
Gerakan yang kedua dilakukan oleh Swami Agnivesh. Ia adalah seorang sannyasi yang tergolong Arya Samaj, yang dimuali oleh Swami Dayanand Sarasvati dan bertujuan untuk mengembalikan agama Hindu pada kemurnian aslinya sesuai dengan ajaran Veda. Gerakan ini memperkenalkan sebuah ideologi yang disebut sosialisme veda dan menjadi sumber penyemangat bagi gerakan-gerakan petani di Haryana. Ia memandang bahwa filsafat karma sebenarnya kebalikan dari apa yang dipahami saat ini. Gerakan yang ketiga adalah gerakan yang dilakukan oleh E.V. Ramaswamy. Pada tahun 1929 ia mendirikan “Gerakan Harga Diri” yang bertujuan melawan dominasi kaum Brahmin dan agama Hindu, yang dilihatnya mendukung dominasi itu. Dalam hal pembaharuan ia melihat bahwa prioritas yang harus dilakukan adalah pembaharuan sosial. Dan sistem kasta dilihatnya sebagai keburukan yang paling buruk dalam hal ini. Salah satu fungsi teologi pembebasan adalah bersikap kritis terhadap unsur-unsur dari agama yang bersifat mengasingkan manusia dari kehidupan dunia dan mensahkan ketidak adilan dan ketiadaan persamaan.

b. Buddha dan teologi pembebasan
Agama Buddha dianggap mengasingkan manusia dari kehidupan dunia, memaksa manusia untuk menyangkal hal-hal duniawi yang dianggap semu dan menyesatkan. Lalu para biksu yang ambil bagian aktif dalam politik dan pembangunan di Sri Lanka dan Persatuan Internasional Buddhisme Terlibat di Thailand yang harus masuk penjara karena perjuangannya. Sebenarnya spirit pembebasan ini tercermin dalam tradisi Buddha sendiri. Dalam tradisi Buddha Mahayana, sang Buddha dilihat sebagai Budisathva, yaitu yang mengabaikan kebebasannya sendiri untuk pembebasan semua orang.
Gerakan yang awalnya adalah ditujukan untuk para mahasiswa agar dapat memahami dan mengalami duduk perkara yang terjadi di masyarakat, kemudian berkembang maju lalu bergeser pada masyarakat desa dan memberi mereka pendidikan-pendidikan serta penyadaran melalui bimbingan para sukarelawan yang terdiri dari biksu dan mahasiswa. Gerakan ini sebenarnya diilhami oleh perkemahan-perkemahan yang dilakukan oleh kaum Quakers dengan inspirasi ideologis dari gerakan yang dilakukan oleh Gandhi. Tujuan gerakan ini mengacu pada kebangkitan Buddha yang merupakan kesadaran akan kenyataan sendiri yang terangkum dalam empat kebenaran luhur yaitu, ada penderitaan, keinginan adalah penyebab penderitaan, keinginan dapat diatasi dan untuk itu harus menempuh delapan jalan yakni; pemahaman yang benar, maksud yang benar, bicara yang benar, tindakan yang benar, nafkah yang benar, usaha yang benar, kehati-hatian yang benar dan pemusatan pikiran yang benar.
Yang kedua dapat dilihat pada gerakan yang dilakukan oleh Bhikkhu Buddhadasa di Thailand. Ia menekankan pentingnya moralitas dan semangat keagamaan dalam kehidupan umum, dan agama Buddha memberikan suatu model sosial-politik yang disebutnya “Sosialisme Dhamma”. Dan manusia terikat dengan ego yang kosong yang tidak begitu saja dapat masuk sebagai bagian dari sistem sosialis ini. Keselarasan ini adalah kebenaran mutlak yang disebut sebagai kekosongan atau nibbana. Kelompok ini bertujuan untuk menjalin kontak dengan realitas, dengan segala sesuatu yang ada yang membuat kita saling berhubungan, ini tugas yang harus mereka lakukan untuk melakukan pencerahan.

c. Kong Hu Chu dan pembebasan
Namun hal tersebut sebenarnya timbul dari pemaknaan yang sempit mengenai agama. Dan tidak bisa kita meninggalkannya jika ingin menjelaskan fenomena perjuangan untuk pembebasan di Asia, karena pada kenyataannya Kong Hu Chu juga menghadapi permasalahan yang sama seperti agama-agama lainnya dalam perjuangan pembebasan. Dalam perkembangannya pada realitas sosial, setiap karismanya kemudian menjadi struktur-struktur lembagawi yang kaku. Padahal kebijaksanaan Konfusianisme yang sebenarnya tidak mengarahkan Agama ini untuk menjadi kumpulan asas-asas dan tata cara yang kaku. Pembebasan dalam pengertian Kongfusianisme adalah pembebasan agama dari takhayul, dan Konfusianisme mengemukakan mengenai tiga ciri khas dari pembebasan manusia yaitu, pertama pembebasan dari kuasa apapun yang tidak diketahui, kedua kesadaran akan tanggung jawab sendiri dan yang ketiga adalah keselarasan sosial dan alam.

Kristiani dan pembebasan
Dengan begitu dapat dmulailah suatu gerakan pembebasan pribadi dan masyarakat yang meliputi seluruh sejarah manusia. Kekurangan-kekurangan dan obsesi-obsesi dipandang sebagai sesuatu yang membelenggu manusia dari kebebasan. Ia pun merujuk pada pengalaman Yesus dan menganjurkan manusia untuk menurut nilai-nilai tersebut yang dilihatnya akan membawa manusia pada keadilan. Dan ini terjelma dalam lembaga sosial. Namun penyebab penting krisis ini adalah coraknya yang berkelas. Tindakan represif ini akan menimbulkan resistensi dari kelas yang tertindas. Dari kondisi ini ia melihat akan timbulnya orang-orang akan melakukan transformatif yang juga dilihatnya sebagai orang yang bersifat profetis. Dalam pengertian para teolog pembebasan di Korea, kata ini kemudian diartikan sebagai golongan yang tertindas atau rakyat jelata. Pada periode 1970-an Korea mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi dan industri yang pesat. Namun yang menjadi korban adalah rakyat dengan ekonomi rendah, mereka harus berpindah-pindah dari desa kedesa, bekerja berjam-jam lamanya dengan upah yang rendah. Wanita dan anak-anak menjadi pekerja yang sama sekali tidak mendapat perlindungan. Dan minjung atau rakyat jelata dilihat sebagai gerakan mesianis.
Filipina adalah negara berkembang yang pada waktu itu menghadapi permasalahan yang cukup kompleks. Ini mengakibatkan pemerintah dipaksa untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang timpang dan tidak adil. Masalah yang keempat adalah pemerintahan diktator Ferdinand Marcos yang sangat represif terhadap siapa saja yang terlibat dalam usaha-usaha konsientisasi dan juga menindas kebebasan-kebebasan sipil. Dalam situasi ini maka orang-orang Kristen yang berpihak pada perjuangan pembebasan akan mudah dikenali sebagai komunis dan kemudian dikutuk baik oleh gereja maupun negara. Tatanan sosial India berlaku sistem yang sangat kuat berakar yang tidak dapat dihilangkan oleh agama-agama yang ada di India. Orang-orang yang tergabung dalam suatu kasta tidak melakukan ikatan perkawinan dengan kasta lainnya. Kasta ini dibagi dalam empat kelompok besar yang diidentikkan dengan pekerjaan. Kasta yang tertinggi adalah Brahmin (iman dan cendikiawan), Kshatriya (prajurit), Vaisya (pedagang) dan Shudra (rakyat biasa). Dan mereka yang tidak termasuk dalam struktur ini disebut kaum Dalit. Dalit adalah orang-orang yang terbuang dan tidak boleh disentuh. Orang-orang Dalit Kristen kemudian telah menjadi peka terhadap ketertindasan mereka yang bertumpuk-tumpuk. Orang-orang Dalit walaupun telah berpindah pada agama-agama Kristen maupun Islam yang tidak membenarkan sistem kasta, ternyata tidak bisa lepas dari aturan kasta yang berlaku dalam masyarakat. Ini menandakan bahwa sistem kasta bukanlah sistem yang ada dalam keagamaan, melainkan sebuah sistem sosial dan budaya. Ini menjelaskan situasi bahwa yang terjadi sebenarnya adalah campur aduk antara sistem sosial dan budaya dengan politik dan ekonomi. Ini kemudian mengarahkan tujuan perjuangan pembebasan bahwa yang harus dilakukan adalah perubahan sosial-budaya. Teologi Dalit adalah refleksi teologis dari orang-orang tertindas yang dipatahkan oleh sistem kasta di India.
Islam oleh kebanyakan orang dipandang tidak sejalan dengan pembebasan. Ini karena apa yang terlihat selama ini ialah, Islam menghukum mati mereka yang berzinah dan menghujat Allah, Islam memotong tangan mereka yang mencuri, dsb. Sebenarnya masalah yang sama juga terjadi pada agama-agama lain. Dan Islam sebenarnya telah banyak mengilhami para pemimpin yang berjuang demi kebebasan. Dalam dunia Islam sebenarnya terjadi banyak gerakan-gerakan pembebasan. Gerakan-gerakan yang lahir akibat ketertindasan yang dialami oleh orang-orang muslim baik pada masa kolonial maupun pasca kolonial. Mereka juga melakukan kritik-kritik tidak hanya pada kekuasaan yang berhaluan kanan tapi juga yang berhaluan kiri. Akibat tekanan dan penindasan ini gerakan-gerakan pembebasan kemudian menjadi lebih radikal dan terkadang lebih fundamentalis. Maududi memiliki pandangan bahwa masyarakat adalah umma, yang melampaui batas-batas kebudayaan dan kebangsaan dan disatukan oleh satu kepatuhan kepada Allah. Untuk itu ia kemudian mendirikan Jama’at I Islami yang bertujuan membentuk masyarakat Islam melalui perkumpulan-perkumpulan orang-orang yang berakar pada nilai-nilai Islam. Ia meyakini kelengkapan Al Qur’an dan Sunna dalam menyediakan cara hidup yang layak. Yang pertama adalah pemberitahuan dan pendidikan. Visi dan asas-asas Islam harus ditafsirkan dalam konteks sekarang ini dan dapat dimengerti oleh semua orang. Dan pada tingkat intelektual harus dilanjutkan dengan jihad. Jihad ini harus dimengerti bukan semata identik dengan tindakan kekerasan dan bersifat fundamentalis, namun tindakan ini adalah suatu perjuangan moral di dalam masyarakat Islam yang bertujuan pembaharuan.
Ali Shariati seorang pemikir kelahiran Iran adalah contoh aktivis dan pemikir yang harus membayar dengan nyawa segala aktivitas dan pemikirannya. Pada tahun 1960 ia mendirikan Gerakan Pembebasan Iran dan Front Nasional pada tahun 1962. Dan tahuhid bagi Shariati merupakan pandangan dunia yang melihat seluruh dunia, sistem yang utuh, menyeluruh, harmonis, hidup dan sadar diri, yang melampaui segala dikotomi, dibimbing oleh tujuan Ilahi yang sama. Islam adalah agama yang realistis, kitabnya tidak hanya bicara mengenai metafisika dan kematian saja tapi juga bicara mengenai alam, masyarakat, hidup, dunia dan sejarah. Shariati menyoroti bahwa hubungan yang tidak sederajat dan tidak adil antara segelintir orang yang berkuasa dan orang kebanyakan yang tak berdaya, tertindas, merupakan struktur pokok masyarakat dalam segala zaman. Perubahan, feodalisme, imperalisme adalah manifestasi yang berbeda-beda dari struktur dasar yang sama, yaitu ketiadaan persamaan. Rakyat, dalam tradisi mereka sendiri, kemudian dilucuti akar-akar budaya dan agamanya. Singkatnya mereka dilucuti jati diri dan kemanusiaannya dan menjadikan mereka obyek-obyek yang mudah dieksploitasi. Shariati kemudian menunjuk pada proses nyata yang sedang berlangsung di Asia dan Afrika saat itu. Ia kemudian menggaris bawahi peranan pemimpin yang disebutnya sebagai pemikir bebas. Bahwa pemimpin bukan saja sebagai pemimpin politik tapi juga kebudayaan yang dapat memberikan pencerahan dan penyadaran kepada rakyat.
Ia terlibat dalam usaha-usaha penegakan HAM dan keselarasan antar agama. Ia menelaah unsur-unsur pembebasan dalam Islam melalui dialog dengan agama Kristen. Ia melakukan pendekatan yang bersifat tekstual, dengan merujuk kembali pada Al Qur’an.

Tidak ada komentar: