Rabu, 12 Januari 2011

EMILE DURKHEIM
TENTANG MASYARAKAT DAN AGAMA

PROYEK UTAMA DURKHEIM
Durkehim bermaksud menjadikan karyanya :The Rules of Sociological Method sebagai manifestasi dari kepentingan menjadikan Sosiologi sebagai ilmu yang obyektif, spesifik dan memiliki metode (The Rules as a manifesto on behalf of ‘the cause of a Sociology that is objective, specific, and methodological) (Rules : 35). Obyektif disini dimaknai dalam kaitannya dalam menjadikan ‘fakta-fakata sosial’ sebagai sebuah benda (thing); sebagai realitas yang independen dari komponen-komponen konseptual. Ia merupakan bagian dari penelitian empiris dan eksis secara permanen… serta merupakan obyek yang berstandar tetap dan selalu siap diamati oleh para peneliti. Obyektif di sini juga berarti tidak meninggalkan ruang bagi masuknya pengaruh subyektif sang peneliti berupa pandangan-pandangan yang bersifat personal. (Objective : a matter of treating ‘social facts as things’; as realities, independent of his conceptual apparatus, empirical investigation. Exist permanently … and constitute a fixed object, a constant standard which is always as hand for the observer, and which leaves no room for subjective impressions or personal observation) (Rules : 82)
KONSEP DURKHEIM TENTANG SOCIETY (MASYARAKAT)
Durkheim adalah seorang fungsionalis dalam kaitannya dengan pandangannya tentang apa yang disebut sebagai society. Society (masyarakat) menurut Durkheim sesungguhnya merupakan kumpulan-kumpulan individu yang mempunyai kesadaran kolektif, dimana individu-individu tersebut menjalankan fungsinya masing-masing pada dirinya. Dalam bukunya The Rules of Sociological Method, Durkheim mengatakan, “When I perform my duties as brother, a husband, or a citizen and carry out the commitments I have entered into, I fulfil obigations which are defined in law and Custom and which are external to myself and my actions (rules : 50).
Sesungguhnya fungsi individu dalam bertindak, berpikir dan berperasa sebagai saudara, suami, atau warga negara sangat ditentukan oleh kebiasaan, adat istiadat dan hukum yang semua itu berada di luar kemampuan individu dalam menerima atau menolaknya. Fungsi dari, sebut saja; suami, bercirikan independen dari kesadaran individual dan memiliki fungsi yang inheren pada dirinya. Dengan demikian fungsi itu dapat diulang untuk setiap individu anggota suatu masyarakat. Fungsi-fungsi itu juga bersifat memaksa kepada individu dan diperoleh dari proses pendidikan.
Berdasarkan ini, maka masyarakat sebagai kumpulan individu yang terikat oleh hukum, kebiasaan dan adat istiadat yang mengikat setiap individu sebagai anggota masyarakat, sehingga harus berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing yang melekat pada dirinya. Karena itu, masyarakat tidak lebih dari sebuah kesadaran kolektif atas individu-individu yang terikat dengan sebuah aturan yang mengikat (kontrak sosial dalam istilah Roussou) masing-masing individu sesuai dengan fungsi pada dirinya.
Dengan demikian terdapat sebuah fenomena, sebuah katagori fakta-fakta yang memiliki ciri-ciri : terdiri dari tata kelakuan, pemikiran, dan perasaan yang berada di luar individu dan tertanam dalam individu dengan kekuatan paksaan sehingga berperan pula mengontrol tata laku, pikiran dan perasaan individu. Maka dari itu, fakta-fakta itu bukanlah fenomena organis, bukanlah pula fenomena fisis yang tidak tersimpan dalam kesadaran individu. Ia merupakan spesies baru dan perlu pula diberi sebutan yang baru pula. Sebutan untuk fakta-fakta yang berciri demikian itu disebut Durkheim dengan istilah Sosial.
KONSEP DURKHEIM TENTANG AGAMA
Emile Durkheim beranggapan bahwa agama merupakan kontrol moral masyarakat atas individu. Untuk mengetahui pandangan Durkheim tentang hal tersebut, maka perlu diketahui terlebih dahulu makna dan pengertian agama dalam pandangan Durkheim. Sebab melalui pengertian agama inilah, kita bisa memahami lebih detail pandangan Durkehim tentang hubungannya dengan masyarakat dan individu.
Durkheim mendefinsikan agama sebagai sebuah sistem terpadu dari kepercayaan-kepercayaan (beliefs) dan praktek-praktek dalam hubungannya dengan segala yang suci, yaitu segala yang jauh-terpisah dan terlarang. Kepercayaan-kepercayaan keagamaan, entah sederhana ataupun kompleks selalu membuat klasifikasi tentang segala hal, baik yang riil maupun yang ideal di dalam dua kelompok yang berbeda, yaitu alam profane dan alam sacred (suci). Kedua ahal tersebut, merupakan pintu awal memasuki pemikiran Durkheim tentang agama dan masyarakat.
Pembagian ini semata-semata merupakan bentuk dari pemikiran keagamaan (Religious Thought). Yang dimaksud dengan alam suci (sacred) tidak hanya berupa roh-roh atau dewa-dewa, tetapi juga menyangkut segala bentuk mitos, kepercayaan, dogma dan legenda dalam agama. Dengan demikian, pohon, batu, ritus dan tempat-tempat tertentu atau segala hal yang bisa menjadi sesuatu yang suci bergantung pada kepercayaan setiap agama. Sedangkan lawan dari alam yang suci itu adalah alam profane (yang dianggap kotor/mengotori yang suci), yaitu hal-hal yang bersifat duniawiyah. Bandingan dengan pandangan ontologi Plato tentang Dunia Ide (yang bersifat suci , abadi dan bersifat ukhrowiyah)dan dunia maya yang dianggap profane, tidak abadi dan bersifat duniawiyah).
Konsep mengenai yang suci itu berhubungan dengan alam yang terpisah dan berbeda dari kehidupan profane sehari-hari. Konsep sacred itu adalah juga milik bersama suatu komunitas. Ia tidak mungkin lepas dari suatu kelompok sosial dan dimiliki per-individu lepas dari komunitasnya. Individu dalam komunitas masyarakatnya ikut ambil bagian dalam kepemilikan hal-hal yang suci tetapi pada dasarnya alam yang suci itu merupakan bagian dari suatu entitas sosial. Entitas sosial itu sendiri bersifat memaksa terhadap individu, anggota suatu komunitas untuk menerimanya sebagai bagian dari komunitas masyarakat tersebut.
Kepemilikan atas alam sacred ini membedakan antara suatu komunitas agama satu dengan yang lainnya. Dalam penelitiannya, mengenai agama primitif di Australia, Durkheim menemukan bahwa klan-klan tomemik mengidentifikasikan kelompok mereka dengan nama-nama totem tertentu, seperti Kanguru, kerbau, elang dan sebagainya. Totem ini merupakan perwujudan dari prinsip totem yang suci (yang disebut dengan istilah Mana) dan masing-masing klan percaya bahwa mereka memiliki hubungan dengan totem itu dalam suatu cara tertentu.
Individu sebagai anggota suatu klan ‘terikat’ dan bergantung pada eksistensi klan dan sekaligus totemnya. Sebaliknya, eksistensi suatu klan juga tergantung pada kepatuhan anggota-anggota klan itu pada yang suci. Untuk itu, dalam mempertahankan eksistensi klan, dibuatlah norma-norma, hukum, peraturan yang mengikat anggota-anggota klan yang bersangkutan. Disamping itu, Durkheim melihat bahwa dalam agama terdapat dua hal yang selalu tetap ada. Kedua hal itu adalah pemujaan (cult) dan keyakinan (faith).
Jadi sebagai suatu bagian dari entitas sosial dan sebagai sarana mempertahankan eksistensi komunitas, agama (dalam kaitannya dengan hal-hal yang dianggap suci dari agama tersebut) memberi kekuatan memaksa kepada individu untuk taat dan patuh pada norma-norma, hukum, peraturan dari agama yang bersangkutan, sekaligus dari pihak individu anggota suatu komunitas agama dan menjadikannya sebagai katagori imperatif bagi tindakan-tindakan moralnya (tentunya setelah terjadi internalisasi yang cukup lama).

Tidak ada komentar: