Rabu, 12 Januari 2011

AKAL DAN WAHYU
(Sebuah rekonsiliasi pemikiran teologis)
Oleh : Abd. Rouf Khosni

A. ANTARAN
Konflik interpretasi yang bersifat teologis dikalangan para Mutakallimin tidak akan pernah tuntas. Ini dikarenakan adanya perbedaan paradigma ontologis maupun epistemologis dalam memandang Kekuasaan Mutlak Tuhan dan kebebasan manusia. Untuk itu, sebelum melakukan sebuah analisa kritik proporsional sebagai upaya rekonsiliasi pemikiran teologis, maka perlu dipahami terlebih dahulu pengertian akal dan wahyu sebagai kunci dalam memahami persoalan tersebut.
Akal dan wahyu merupakan persoalan pelik yang lama menjadi wacana perdebatan dikalangan filosof dan teolog skolastik, baik Islam maupun Kristen. Sebagaimana kita sadari bersama bahwa Allah menciptakan manusia tidak dibiarkan begitu saja. Dia memberi petunjuk berupa wahyu (kitab) melalui para rosulNya sebagai pedoman hidup dan menganugerahi akal kepada manusia sebagai kunci untuk memperoleh petunjuk atau pengetahuan dalam segala hal.
Penggunaan akal sebagai suatu metode untuk memperoleh pengetahuan dianjurkan oleh Islam agar kebenaran ajarannya dapat dibuktikan secara nyata, tidak sekedar dengan cara meyakini secara kaku dogmatis yang diberitakan wahyu. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang memberi isyarat tentang pentingnya fungsi akal tersebut di samping wahyu. Sejarah Islam pun telah membuktikan bahwa kemampuan dan aktifitas akal yang dilandasi iman dan takwa, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, pernah menjadi sumber kemajuan peradaban umat Islam pada masa kejayaannya (abad I-IV H). Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa akal merupakan kemampuan psikis manusia yang dapat berfungsi untuk memperoleh pengetahuan di samping wahyu.
Dalam sejarah pemikiran Islam, baik kalangan filosof, Mutakallimin maupun fuqaha, sebenarnya tidak mempertentangkan akal dan wahyu tersebut. Mereka tetap menempatkan akal di bawah posisi wahyu sebagai kebenaran yang dipandang mutlak. Akal tetap tunduk pada wahyu, maka ketika dipakai untuk menginterpretasi teks wahyu akal tidak menentangnya. Hanya saja interpretasi ini tentunya sesuai dengan kecenderungan pemberi interpretasi, yang berbeda antara satu dengan lainnya. Hal ini mengakibatkan perbedaan interpretasi wahyu.
Pembahasan persoalan akal dan wahyu mendapat porsi yang luas dalam wacana perdebatan dari masa ke masa. Ada aliran kalam yang memberi fungsi besar pada kemampuan akal sebagai konsekuensi logis dari adanya kebebasan manusia. Selain itu, ada aliran yang memberi fungsi sangat kecil pada kemampuan akal, sehingga fungsi wahyu menjadi sangat besar sebagai hak preoregatif kekuasaan Mutlak Tuhan. Karena itu, kajian ini dititik beratkan pada analisa deskriptif secara ringkas pandangan Kaum mutakallimin, perbandingan pemikiran mereka dan rekonsialisi teologis secara kritis analitis relevansinya dengan realitas kekinian.
B. PENGERTIAN AKAL DAN WAHYU
Akal sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab, al-‘aql, dari kata kerja ‘aqala – ya’qilu, artinya mengikat atau menambat. Rumah tahanan dalam bahasa Arab disebut juga Mu’taqal, al-‘Aqil, juga diartikan orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Selanjutnya, al-‘aql juga mengandung arti an-Nuha, yaitu kebijaksanaan; lawan dari al-Huma, yaitu lemah pikiran. Selain itu, al-‘aql juga dipergunakan untuk arti al-Qalb, yaitu jantung.
Izutsu, sebagaimana dikutip Harun Nasution, mengemukakan alasan tentang terjadinya perubahan arti ketika kata al-‘Aql masuk ke dalam pemikiran dan wacana filsafat Islam. Masuknya filsafat Yunani ke dalam pemikiran Islam mempengaruhi arti kata al-‘Aql, sehingga mengandung arti sama dengan kata Yunani Nous, yaitu daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan demikian pemahaman dan pemikiran tidak lagi dilakukan melalui al-Qalb, tetapi melalui al-‘Aql di kepala.
Akal menurut pandangan filosof Islam merupakan salah satu daya dari jiwa (al-Nafs atau al-Ruh) manusia. Menurut Ibnu Sina disamping jiwa manusia memiliki akal praktis (al-‘Amilah) yang hanya mampu menerima arti secara material dan inderawi, juga memiliki akal teoritis (al-Nadzariyah) yang mampu menangkap arti metafisis; seperti masalah ketuhanan. Akal teoritis ini mempunyai empat tingkatan, yaitu :
1. Akal Material (al-‘Aql al-Hayulani) yang masih berupa potensi.
2. Akal Bakat (al-‘Aql bil Malakah) yang telah mulai nampak kesanggupannya untuk melakukan aktifitas berpikir abstrak.
3. Akal Aktual (al-‘Aql bi al-Fi’li) yang telah mampu berpikir mengenai hal-hal yang abstrak.
4. Akal Perolehan (al-‘Aql al-Mustafad) yang telah terlatih berpikir abstrak, sehingga hal-hal yang abstrak tersebut selamanya ada di dalam akal dan mampu menerima limpahan pengetahuan dari akal aktif (al-‘Aql al-Fa’al).
Sejalan dengan perkembangan ilmu kalam pada abad III-IV H yang telah dipengaruhi pemikiran falsafah waktu itu, maka pandangan mutakallimin tentang akal ini pada dasarnya tidak berbeda dengan filosof Islam, yaitu sebagai daya berpikir yang berfungsi untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian akal dalam pandangan Islam bukanlah identik dengan pengertian otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah sebagai lawan dari wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan.
Untuk mendudukkan persoalan akal dengan wahyu, maka pengertian tentang wahyu juga perlu dikaji dalam tulisan ini agar supaya kita dapat meletakkan pengertian akal dan wahyu pada pengertian yang sebenarnya. Sementara itu, pengertian wahyu dalam kamus al-Munjid disebutkan bahwa kata al-Wahyu dari segi bahasa adalah bentuk masdar dari kata kerja wahaa-yahii; diantara artinya adalah memberi isyarat, mengirim utusan, berbisik-bisik, berbicara ditempat tersembunyi yang tidak diketahui orang, mencampakkan ilham ke dalam hati dan menuliskan.
Mengenai wahyu dalam pengertian istilah, Muhammad Abduh menjelaskan bahwa wahyu itu suatu pengetahuan yang didapat oleh seseorang di dalam dirinya serta diyakininya bahwa yang demikian itu berasal dari Allah, baik dengan perantaraan atau tidak, baik yang dapat dengan bersuara atau tidak bersuara. Sementara itu, dari segi fungsinya, wahyu lebih dikenal sebagai sesuatu yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabiNya. Dalam hal ini mengandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihannya, agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pandangan hidup.
Pengertian wahyu tersebut mengandung isyarat tentang adanya komunikasi antara Tuhan yang bersifat immaterial dan manusia yang bersifat material. Filsafat dan Tasawuf mengakui adanya komunikasi seperti ini. Adapun sesuatu yang diwahyukan dalam Islam, bukan sekedar isi, tetapi termasuk teks dalam bahasa Arab dari ayat-ayat sebagai yang terkandung dala al-Qur’an. Kebenaran datangnya al-Qur’an dalam teks Arabnya dari Tuhan adalah bersifat absolut, artinya yang diakui wahyu dalam Islam teks Arab al-Qur’an sebagai wahyu yang diterima nabi Muhammad dari Jibril.
C. PANDANGAN MUTAKALLIMIN
1. Pandangan Mu’tazilah
Para tokoh Mu’tazilah yang menempatkan akal pada posisi yang tinggi sepakat bahwa dasar-dasar pengetahuan dapat diketahui akal. Dengan demikian, persoalan mengetahui Tuhan, kewajiban percaya dan berterima kasih kepadaNya, mengetahui persoalan baik dan buruk, serta kewajiban mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk dapat diketahui dengan akal. Sebagai konsekuensinya, meskipun wahyu belum turun, manusia wajib berterima kasih kepada Tuhan atas segala nikmatnya.
Abu Huzail (155-226 H). tokoh mu’tazilah angkatan kedua yang berdomisili di Basrah berpandangan bahwa seorang mukallaf sebelum datang wahyu wajib mengetahui Tuhan, sehingga menurutnya akal bukan saja dapat mengetahui Tuhan, melainkan wajib mengetahui, melainkan wajib mengetahui Tuhan, sekalipun wahyu belum sampai kepada manusia. Selanjutnya ia mengatakan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sehingga akalpun dapat mewajibkan melakukan perbuatan baik, seperti adil dan jujur, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti dusta dan zalim.
Pandangan tersebut di atas juga sejalan dan didukung dengan pendapat tokoh mu’tazilah lainnya yang bernama al-Nazzam (w. 221 H), al-Juba’I (w. 295 H) dan anaknya, Abu Hasyim (w. 321 H). Demikian juga al-Murdar (W. 226 H) yang lebih keras pendapatnya terhadap orang yang tidak mengetahui hal-hal tersebut dengan akalnya dan tidak bersyukur kepada Tuhan, ia akan dihukum dalam hukuman yang kekal. Jika demikian apa gunanya Allah mengutus para rosul?. Dalam hal ini kaum Mu’tazilah mengemukakan pandangan mereka tentang fungsi wahyu.
Mengenai fungsi wahyu, kaum Mu’tazilah memandang bahwa untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifatNya, wahyu tidak mempunyai fungsi apa-apa. Tetapi untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan, wahyu diperlukan. Dalam mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, meskipun telah diketahui oleh akal, namun ia tidak mengetahui cara berterima kasih kepadaNya. Cara-cara ritus ini dijelaskan oleh nabi melalui wahyu.
Selanjutnya, mengenai masalah baik dan buruk, menurut Hilli, bagi golongan Imamiyah dan Mu’tazilah, akal dapat mengetahui sebagian yang baik dan sebagian yang buruk. Abu Ishak memberi contoh tentang kejahatan yang dapat diketahui akal adalah ketidakadilan, sedang yang tidak dapat diketahui akal adalah zina. Adapun hal-hal yang baik tidak dapat diketahui akal adalah sesuatu “kebolehan” yang nilai baiknya untuk mencapai tujuan tertentu.
Secara rinci, al-Juba’i dan puteranya menjelaskan fungsi wahyu tersebut dalam memperoleh pengetahuan; mengatakan bahwa para rasul yang menentukan hukum, seperti waktu melaksanaakan shalat lima waktu, nisab zakat, puasa Ramadlan adalah wajib, puasa dua hari raya dan hari tasyiq adalah haram, dan waktu haji. Termasuk pengetahuan yang bukan wilayah akal adalah al-sam’iyat, kadar pahala atas perbuatan yang diperintahkan dan hukuman atas perbuatan yang dilarang. Dengan demikian fungsi wahyu bagi kehidupan manusia, menurut pandangan Mu’tazilah, lebih baik banyak sebagai konfirmasi daripada sebagai informasi.
2. Pandangan Asy’ariyah
Aliran ini didirikan oleh Abu Hasan al asy’ari (260-364 H) yang pada mulanya penganut faham Mu’tazilah. Dia adalah tokoh utama aliran Ahlu al Sunnah wa al Jama’ah, disamping Abu Mansur al-Maturidi. Kaum Asy’ariyah umumnya sepakat bahwa akal tidak dapat menentukan setiap masalah yang berkaitan dengan pahala dan siksa, karena yang demikian berhubungan dengan perintah dan larangan Tuhan. Tetapi dalam masalah yang tidak berkaitan dengan pahala siksa akal tetap peran.
Asy’ari, berpendapat bahwa semua kewajiban hanya bisa diketahui melalui wahyu, karena akal tidak bisa mewajibkan sesuatu, dan tidak bisa menetapkan sesuatu itu baik atau buruk. Menurutnya, akal memang dapat mengetahui Tuhan, tetapi kewajiban mengetahui Tuhan hanya dapat diketahui melalui wahyu. Demikian pula mengenai kewajiban bersyukur kepada Tuhan, tentang pahala dan siksa, hanya dapat diketahui dari wahyu, bukan dari akal. Oleh sebab itu, sesuatu yang dianggap wajib oleh kriteria akal, tidak wajib bagi Allah, dan tidak ada kewajiban al-shalah wa al-ashlah dan al-luthfi bagi Allah.
Al-Baghdadi, juga mengatakan bahwa akal dapat mengetahui Tuhan tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu. Jika sebelum ada wahyu ada orang yang dapat tidak dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifat-Nya, orang tersebut percaya kepada-Nya, maka ia tergolong mukmin; tetapi tidak berhak menerima pahala dari Tuhan. Jadi, al-Baghdadi menghilangkan makna akal jika terpisah dari wahyu.
Al-Ghazali (w.505 H), adalah juru bicara Asy’ariyah yang paling vokal. Ia berpendapat, sebagaimana dikutip Harun Nasution bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban tersebut ditentukan wahyu. Dengan demikian kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Faham ini bagi al-Gahazali, erat hubungannya dengan definisi baik dan jahat. Kata wajib, menurut al-Ghazali merupakan sifat bagi perbuatan-perbuatan. Suatu perbuatan sebenarnya bersifat wajib, kalau tidak dilakukannya, perbuatan ini menimbulkan kemadharatan bagi manusia kelak dihari kiamat. Keadaan akherat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Dengan demikian kewajiban-kewajiban hanya dapat diketahui manusia dengan wahyu.
Al-Juwaini (419-478 H), mengemukakan argumen yang mengatakan bahwa sekiranya dengan akal saja manisia dapat mengetahui semua yang baik dan buruk, maka orang-orang Brahma dapat mengetahui bahwa membunuh binatang itu tidak selamanya buruk. Sementara sampai sekarang mereka masih tetap menganggap setiap membunuh binatang itu buruk. Oleh karena itu harus ada wahyu. Mengenai baik dan buruk tidak dapat diketahui oleh akal, al-Syahrastani menjelaskan bahwa perbuatan baik dan buruk itu merupakan perbuatan yang mendatangkan pujian atau celaan bagi pelakunya. Dari pandangan tokoh Asy’ariyah tersebut dapat diketahui bahwa wahyu lebih besar fungsinya daripada akal.
3. Pandangan Al-Maturidiyah
Imam Al-Maturidi (w.333H) hidup di negeri warra al-nahr, jauh dari pusat dunia Islam (Baghdad). Al-Maturidi, berbeda dengan Imam Asy’ari yang menganut mazhab figh Syafi’i, dia menganut mazhab Hanafi di bidang figh; yang diduga dapat berpengaruh terhadap pandangan kalamnya. Sebagaimana telah tersebut diatas, al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah disebut golongan ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, tetapi dalam sistem kalamnya terdapat perbedaan dalam menempatkan kedudukan akal dan wahyu. Meskipun faham al-Maturidiyah dibangun sebagai reaksi terhadap faham mu’tazilah, tetapi dalam kenyataannya pemikiran Maturidiyah tentang akal dan wahyu, justeru lebih dekat dengan pemikiran muktazilah.
Al-Maturidiyah sendiri terbagi menjadi dua; al-Maturidiyah Samarkan, tokohnya Abu Mansur al-Maturidi, dan al-Maturidiyah Bukhara, tokohnya al-Bazdawi. Maturidiyah Samarkan berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui tiga permasalahan pokok yang telah disebutkan terdahulu. Hanya masalah keempat, mengetahui kewajiban melakukan perbuatan baik, dan kewajiban menjauhi perbuatan buruk—yang tidak dapat dapat diketahui akal. Mengetahui masalah ini diperlukan wahyu. Pendapat Maturidiyah Samarkan ini, mendekati pendapat kaum Mu’tazilah, kecuali pada masalah yang keempat. Masalah keempat ini membutuhkan informasi wahyu karena kewajiban tersebut membawa konsekuensi adanya pahala dan siksa. Dalam hal ini Maturidiyah tidak memastikan kewajiban bagi Tuhan untuk memberi pahala atau siksa.
Bila dibandingkan dengan Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkan lebih tinggi menempatkan posisi akal, ketika memandang kemampuan akal dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Menurut penjelasan al-Bayadi, tentang pendapat Abu Mansur al-Maturidi bahwa kewajiban mengetahui Tuhan itu adalah wajib menurut akal naluri. Hal ini sejalan dengan pandangan Abu Hanifah. Jika kewajiban mengetahui dan percaya kepada Tuhan berarti kewajiban menganut kepercayaan itu, maka umumnya para ulama Irak tidak sepaham dengan Abu Mansur.
Maturidi berpendirian bahwa akal mengetahui sifat baik terhadap yang baik, dan sifat buruk terdapat dalam sifat yang buruk; dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat baik adalah baik dan berbuat buruk adalah buruk. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akal mengetahui tentang bersikap adil dan lurus adalah baik dan bersikap tidak adil dan tidak lurus adalah tidak baik. Oleh karena itu akal memandang mulia orang yang adil dan lurus dan memandang rendah orang yang tidak adil dan tidak lurus.
Selanjutnya akal memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa pada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal--fayajib al-amr wa al-na-hy bidarurah al-‘aql. Kutipan diatas memberi isyarat bahwa yang diwajibkan akal adalah adanya perintah dan larangan, bukan mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Berbeda dengan Maturidiyah Samarkan, kalangan Maturidiyah Bukhara menempatkan posisi akal lebih kecil dari Maturidyah Samarkan. Mazhab ini memandang bahwa akal hanya dapat mengetahui pengetahuan-pengetahuan. Adapun kewajiban-kewajiban, wahyulah yang menentukan.
Dengan demikian, akal menurut mazhab Maturidiyah Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban, tetapi mengetahui sebab yang membuat kewajiban itu menjadi wajib. Akibat dari pendapat ini adalah mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada-Nya sebelum turunnya wahyu tidak wajib bagi manusia. Karena kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik serta meninggalkan yang buruk hanya diketahui sesudah adanya wahyu. Perbedaan pendapat berbagai aliran kalam tentang kemampuan kalam tentang kemampuan akal dan fungsi wahyu, berkaitan erat dengan perbedaan-perbedaan masing-masing aliran tentang kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, serta kebebasan manusia atas kehendak dan perbuatannya.
Bagi aliran yang berpandangan bahwa manusia itu bebas dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, serta berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan itu tidak mutlak, mereka cenderung menempatkan akal pada posisi yang kuat. Mereka berpendapat bahwa akal mampu mencapai tentang Tuhan dan baik-buruk, serta kewajiban mengetahui Tuhan, berterima kasih kepada-Nya, melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Dalam hal ini fungsi wahyu sangat terbatas sebagai konfirmasi pengetahuan akal dan informasi tentang ketentuan hukum, bentuk pelaksanaan ibadah, serta kadar pahala dan siksa. Termasuk kelompok ini adalah aliran Mu’tazilah, yang memandang akal mampu untuk mengetahui dua pengetahuan dan satu kewajiban.
Dengan demikian bagi aliran yang memandang manusia tidak bebas dan tidak berkuasa atas kehendak dan perbuatannya; maka akal mempunyai posisi yang lemah, kemampuan terbatas untuk mengetahui pengetahuan-pengetahuan. Termasuk kelompok ini adalah aliran Maturidiyah Bukhara yang memandang akal dapat mengetahui dua pengetahuan, dan Asy’ariyah yang memandang akal hanya mampu mengetahui satu pengetahuan, yaitu mengetahui Tuhan saja; sebelum menerima ajaran Rasul. Dalam hal ini wahyu lebih banyak berfungsi sebagai informasi daripada sebagai konfirmasi. Dari keempat aliran kalam tersebut, Mu’tazilah yang paling besar memberi kemampuan akal, dan paling kecil memberi fungsi wahyu. Sedang Asy’ariyah, aliran yang paling besar memberi fungsi akal dan paling kecil memberi kemampuan akal terhadap 4 permasalahan kalam tersebut.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah dan fungsi terkecil dalam aliran Mu’tazilah. Semakin besar fungsi wahyu, semakin kecil kemampuan akal dalam aliran-aliran kalam tersebut. Akal menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia, sedang wahyu menggambarkan kelemahan dan keterbatasan manusia. Manusia dalam aliran Mu’tazilah dipandang berkuasa dan merdeka, sedang menurut aliran Asy’ariyah dipandang lemah dan kurang merdeka. Dalam aliran Maturudiyah, manusia mempunyai posisi menegah antara aliran MaturidiyahMu’tazilah dan Asy’ariyah. Manusia, menurut Maturidiyah Samarkan lebih berkuasa dan merdeka dibanding dengan pandangan Maturidiyah Bukhara.

Tidak ada komentar: